Page 441 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 441

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           menggetarkan. Usahlah sosoknya, bahkan sekadar bayangannya pun sangat
           memukau. Usahlah nabi sendiri yang lewat, bahkan sekadar gemerisik gamisnya
           pun amat menakjubkan.

           Sudah tentu banyak segi dan momen penting dari kehidupan Nabi Muhammad.
           Tapi tak syak lagi momen paling penting dan menentukan dari seluruh kehidupan
           nabi adalah ketika dia pertama kali menerima wahyu. Inilah momen yang
           menentukan kehidupan sang nabi selanjutnya. Sudah jamak diketahui bahwa
           dia melihat berbagai dekadensi moral sosial di sekitarnya, juga penyimpangan-
           penyimpangan agama nenek-moyangnya, dan tentu dia berhasrat untuk
           mengatasinya. Bahwa dia ingin mengatasi semuanya dengan cara mengambil
           jalan merenung dan menyepi di gua Hira, di satu sisi hal itu menunjukkan bahwa
           dia ingin menjauhkan diri dari kemungkinan terkontaminasi oleh dekadensi
           moral masyarakatnya, di sisi lain hal itu menunjukkan bahwa sejak awal dia
           memang memiliki kecenderungan kerohanian. Meskipun demikian, turunnya
           wahyu pertama merupakan momen yang mengejutkan bagi nabi sendiri,
           momen mana seringkali digambarkan sebagai guncangan dahsyat, tidak
           saja secara spiritual melainkan juga secara mental dan fisikal. Sebuah Hadis
           (Shahîh Bukhârî, Hadis nomor 3) ―yang kemudian menjadi sumber berbagai
           penulisan sejarah sang nabi― menggambarkan turunnya wahyu pertama, dan
           melaporkan bahwa, setelah menerima wahyu pertama itu sang nabi pulang
           dengan perasaan khawatir dan cemas, dan dengan rasa takut meminta
           Khadijah, istrinya, untuk buru-buru menyelimutinya. Kahdijah pun menyelimuti
           sang suami dan menenangkan hatinya.


           Konteks sosial turunnya wahyu dan momen turunnya wahyu pertama ini
           dicatat  Ajip  Rodisi  dalam  puisinya  “Dalam  Gua  Hira”  (Ajip  Rodisi,  1993:
           228-230). Dekadensi moral dan kebobrokan masyarakat yang keterlaluan
           mengundang sejumlah tanda tanya di hati nabi: Tidak adakah cinta/ yang ‘kan
           meyelamatkan sesama manusia?// Begitu murkakah Tuhan/ sehingga dunia akan
           ditenggelamkan/ larut dalam kiamat/ dan tak seorang pun akan selamat? Bagi
           sang nabi, pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja menggelisahkan, dan segera
           mengantarkannya ke pencarian makna hidup dan tugas hakiki manusia bagi
           kehidupan. Nabi mencari jawaban atas semua pertanyaan ini di keheningan
           hatinya sendiri:  Dicarinya dalam keheningan hati/ asal mula segala jadi. Dan
           turunlah wahyu pertama, yang memberikan pencerahan batin untuk memahami
           rahasia penciptaan semesta.

           Sementara  itu,  puisi  Goenawan  Mohamad  (2001:  13-15),  “Meditasi”,
           merupakan bahasa emotif yang memberikan dimensi-dimensi sublim dari
           momen dan pengalaman spiritual yang sangat penting dan menentukan itu.
           Tidak seperti beberapa laporan hadis tentang situasi saat itu, di mana nabi
           digambarkan begitu tegang dengan rasa terkejut yang amat sangat, dan








                                                                                                427
   436   437   438   439   440   441   442   443   444   445   446