Page 444 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 444
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
cermin melalui mana ummat Nabi Muhammad dapat berkaca, memandang
dirinya masing-masing sebagai pengikut nabi. Dan, dia berkaca bukan di dalam
kamar seorang diri, melainkan di hadapan nabi sendiri. Dengan cara itu puisi
tersebut membawa ummat Nabi Muhammad ke haribaan nabi sendiri, dan di
hadapannya dia mengakui kepura-puraannya dalam menjalankan ajaran sang
nabi.
Bagian akhir puisi tersebut mengungkapkan rasa rindu pada nabi: ya rasulallah/
kuingin menatap meski sekejap/ wajahmu yang elok mengerlap/ setelah
sekian lama mataku hanya menangkap gelap// ya rasulallah/ kuingin mereguk
senyummu yang segar/ setelah dahaga di padang kehidupan hambar/ hampir
membuatku terkapar// .... Sebagai tokoh yang sangat dihormati dan dicintai,
tentu saja Nabi Muhammad sangat dirindukan. Dia adalah pribadi kepada siapa
rindu dan cinta pengikutnya senantiasa berkobar. Namun dilihat dari konteks
puisi, rindu pada nabi di sini berarti juga kerinduan pada kesalehan dalam
mengikuti esensi ajaran nabi, guna menjadi pengikutnya yang sejati. Kerinduan
pada nabi adalah kerinduan pada manifestasi ajaran-ajarannya secara esensial,
di samping secara formal. Kerinduan adalah hasrat menggebu untuk bertemu
nabi, dan pertemuan dengan nabi adalah pertemuan dengan pelaksanaan
ajarannya yang sejati. Itulah pertemuan sesungguhnya antara pengikut nabi
dengan nabi yang dirindukannya.
Pengertian rindu pada rasul seperti itu lebih jelas lagi dalam puisi Mustofa Bisri
yang lain, “Aku Merindukanmu, Oh Muhammadku”. Dalam puisi ini, penyair
mengemukakan berbagai borok sosial, misalnya: Sepanjang jalan kulihat wajah-
wajah yang kalah/ Menatap mataku yang tak berdaya/ Sementara tangan-tangan
perkasa/ Terus mempermainkan kelemahan.... Setiap kali mengemukakan
borok sosial, penyair berkata, “Aku merindukanmu, o, Muhammadku.” Dan,
semakin jauh manifestasi ajarannya, kerinduan pada nabi semakin menyala-
nyala: ... Dari dada-dada tipis papan/ Terus kudengar suara serutan/ Derita
mengiris berkepanjangan/ Dan kepongahan tingkah-meningkah/ Telingaku
pun kutelengkan/ Berharap sesekali mendengar/ Merdu-menghibur suaramu//
Aku merindukanmu, o, Muhammadku//.... Dengan demikian, di sini Nabi
Muhammad menjadi pusat yang dirindukan di tengah berbagai persoalan sosial
yang direnungkan penyair.
Dan isra’-mi’raj tetaplah penuh pesona. Perjalanan malam nabi Muhammad dari
Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, selanjutnya dari Masjidil
Aqsha menuju singgasana Tuhan itu merupakan perjalanan yang musykil.
Isra’-mi’raj merupakan momen terpenting kedua setelah pewahyuan pertama
dalam kehidupan spiritual Nabi Muhammad. Sama halnya dengan pewahyuan
pertama, isra’-mi’raj adalah juga pengalaman spiritual yang musykil, bahkan
lebih musykil lagi, sebab kini ia tidak hanya mengandung dimensi-dimensi
mistikal, melainkan juga fisikal. Mungkin saja kemusykilan dimensi mistikal yang
430