Page 449 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 449
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
dan terutama memberikan dimensi moral dan relijius pada isu-isu sosial dalam
puisi. Dengan digunakannya perbendaharaan Islam, maka lebih jelaslah bahwa
puisi sosial merupakan ekspresi relijius. Kedua, puisi yang mengemukakan isu
sosial dengan atau lewat doa, yang dapat disebut “puisi doa”. Telah dikatakan
bahwa sangatlah lazim para penyair Muslim Indonesia mengungkapkan doa
dalam puisi untuk mengekspresikan semangat relijius mereka. Dalam puisi doa,
para penyair tidak hanya mengemukakan hal-hal yang sangat personal atau
pribadi, melainkan juga mengadukan masalah-masalah sosial sebagai tanggung
jawab sosial sekaligus panggilan relijius mereka. Lewat puisi doa, para penyair
mengaitkan masalah sosial langsung dengan Tuhan, yang dengan demikian
merefleksikan juga inti terdalam dari kesadaran spiritual mereka.
Tentu saja Al-Qur’an merupakan sumber inspirasi bagi puisi Indonesia, tidak saja
bagi puisi-puisi relijius, melainkan juga bagi puisi-puisi sosial. Dalam beberapa
puisi, para penyair berbicara tentang masalah sosial seraya mengaitkan isu
yang dibicarakannya dengan sumber utama Islam, yaitu Al-Qur’an. Puisi Taufiq
Ismail (2008a: 778), “Lapangkan Dada”, berbicara tentang nasib orang yang
mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), korban penggusuran dan banjir.
Ia mengemukakan solidaritas untuk mereka, membesarkan hati mereka yang
tengah kesulitan. Dalam konteks itu, puisi tersebut mengutip ayat Al-Qur’an
(As-Syarh/94: 6): inna ma’al ‘usri yusra (‘Sesungguhnya sesudah kesulitan ada
kemudahan’). Kutipan ayat Al-Qur’an dan terjemahannya diulang dua kali,
menunjukkan keprihatinan yang dalam sekaligus memberikan harapan kepada
para korban. Puisi Taufiq Ismail (2008a: 943-845) yang lain, “Membaca Tanda-
tanda”, berbicara tentang tsunami yang menerpa Aceh di tahun 2004. Puisi itu
menggambarkan dahsyatnya tsunami meluluhlantakkan Aceh, menyinggung
juga derita akibat berbagai bencana: gempa di daratan dan di lautan, letusan
gunung merapi, dan lain-lain, berikut korban-korbannya yang mengerikan.
Secara keseluruhan puisi itu merupakan ucapan belasungkawa dan doa bagi
korban-korban tsunami. Lalu, dengan mengutip Al-Qur’an (Al-Muddatstsir/74:
31), penyair berseru: ... maadza arada Llaahu bi haadza matsala?/ Apa gerangan
yang Dikau kehendaki dari ini umpama?/ Bilakah gerangan kami mampu
18
membaca tanda-tanda?//....
Sementara itu, penyair A Mustofa Bisri menggali langsung inspirasi dari Al-
Qur’an untuk puisinya “Tadarus” (A Mustofa Bisri, 2003: 3). Puisi ini merupakan
saduran puitis atas tiga surat dalam Al-Qur’an, yaitu surat Az-Zilzâl/99 (Gempa),
surat Al-Âdiyât/100 (Yang Berlari), dan surat Al-Qâri`ah/101 (Hari Kiamat),
ditambah dengan renungan-renungan pribadi penyair setelah membaca tiga
surat yang memang sangat puitis itu. Surat Az-Zilzâl mengisahkan saat-saat
bumi diguncang dengan dahsyatnya dan memuntahkan seluruh isi perutnya,
sementara manusia bertanya-tanya: bumi ini kenapa? Sementara, surat Al-
Âdiyât mengutarakan larik-larik yang sangat puitis sebagai pengantar untuk
menegaskan watak manusia yang cenderung negatif:
435