Page 451 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 451
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Sebagaimana Taufiq Ismail dan A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron juga
mengambil Al-Qur’an sebagai salah satu sumber puisinya. Puisi Zawawi
Imron (2010: 118-129), “Keroncong Air Mata”, yang dipersembahkan untuk
Almarhum Nurcholish Madjib, dengan metaforis mendendangkan keindahan
Indonesia di satu sisi namun lebih banyak menangisi kebobrokan Indonesia di
sisi lain. Berdendanglah penyair: di sini batu-batu/ dipecah berbiji emas/ Kerikil
digosok/ berkilau jadi permata/ Alhamdulillah Indonesia/ Tanah airku tercinta//
Matahari bulat perak/ menyapa putih kapas randu/ Gunung-gunung tegak/
di sini berputik kembang duku/ Sawah luas tengadah/ mengaku bumi Allah/
Bulir padi berjuta untai/ merunduk berjurai-jurai... Namun kemudian penyair
menangisi tanah airnya: Kadang kami tak habis mengerti/ pada pekerti kami
sendiri/ kemarin ketuhanan/ sekarang kehutanan/ besok pagi kebinatangan/
lusa kembali ketuhanan/ besoknya lagi/ kesetanan/ lalu kesurupan/.../ Batu-
batu kecil/ Ranting-ranting gugur kecil/ meneteskan getah airmata/ Masyaallah
Indonesia.... Puisi ini berbicara tentang berbagai masalah sosial, mulai
pembakaran hutan, nasib kaum gelandangan, kaum miskin di tengah orang-
orang serakah, dan sampai pelacuran, yang semuanya menandai matinya
kemanusiaan. Di tengah itu semua, Zawawi mengutip Al-Qur’an (Al-`Ashr/
103): Demi waktu!/ Sesungguhnya manusia pasti merugi/ Kecuali mereka yang
beriman/ dan beramal saleh/ dan yang saling bernasihat dalam kebenaran/ dan
yang saling bernasihat dengan kesabaran.
Penyair yang juga diilhami Al-Qur’an dalam puisi sosialnya adalah Hamid Jabbar.
Salah satu puisinya berjudul “Nashrullah Qarib” (Pertolongan Allah Dekat)
(Hamid Jabbar, 2004: 191-193). Judul puisi ini diambil langsung dari frase dalam
Al-Qur’an (Al-Baqaroh/2: 214), yang mengisahkan keluhan Nabi Muhammad
dan sahabat-sahabatnya setelah mengalami serangkaian kekalahan perang.
Mereka mengeluh, “Kapan gerangan pertolongan Allah datang?” Sebagai
respons terhadap keluhan tersebut, Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya
pertolongan Allah dekat.” Puisi Hamid sendiri berbicara tentang kejahatan
perang, dari perang Badar sampai perang Bosnia, dengan membidik musuh
perang sebagai “musuh Allah”, yaitu ... mereka yang datang menghidangkan
dendam maha darah. Puisi tersebut jelas mengekspresikan kemarahan terhadap
kejahatan perang, terutama terhadap “mereka” yang dalam puisi itu dipandang
sebagai musuh “kita”. Terutama kepada “kita” yang sedang berada di medan
perang, penyair meyakinkan bahwa pertolongan Allah sudah dekat ―alâ inna
nashrallâhi qarîb. Maka, penyair berseru agar ... dari segala perang yang paling
palang melintang jangan kita lintang pukang pulang dengan rasa malang!
Bagaimanapun perang itu sendiri merupakan ... jalan mendaki, jalan abadi, jalan
sejarah para rasul dan nabi, yang semuanya merupakan jihad. Pada akhirnya,
jihad adalah perjuangan untuk kembali kepada Allah yang sejati.
Sumber Islam terpenting kedua setelah Al-Qur’an tentu saja Hadis Nabi
Muhammad. Maka puisi Indonesia pun mengambil perbendaharaan dari
Nabi Muhammad dan Hadisnya. Di atas telah disinggung sekilas bahwa Nabi
437