Page 456 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 456
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Endnotes
1 Misalnya Hadis Muslim (Shahîh Muslim, Hadis Nomor 4185, Maktabah Syâmilah) berikut
ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَدِفْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ هَلْ مَعَكَ مِنْ
شِعْرِأُمَيَّةَ بْنِ أَبِي الصَّلْتِ شَيْءٌ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ هِيهْ فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ هِيهْ ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ
هِيهْ حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ.
(Ayah Syarid berkata, “Pada suatu hari saya dibonceng oleh Rasulullah. Lalu Rasulullah
bertanya, ‘Apakah engkau hafal puisi Umayyah bin Abi Shalt?’ Saya jawab, ‘Ya.’ Lalu kata
Rasulullah, ‘Nyanyikan untukku.’ Kemudian saya nyanyikan satu puisi. Rasulullah berkata
lagi, ‘Nyanyikan lagi’. Kemudian saya nyanyikan satu puisi lagi. Lalu Rasulullah meminta
lagi sampai saya menyanyikan seratus puisi.”)
Penting dikemukakan bahwa Umayyah bin Abi Shalt adalah penyair non-Muslim, yang
hampir masuk Islam (Shahîh Muslim, Hadis Nomor 4185, Maktabah Syâmilah). Tampaknya
Nabi Muhammad SAW cukup sering mendengar puisi-puisi Ummayah dibacakan atau
dinyanyikan. Suatu ketika Rasulullah mendengarkan puisinya dinyanyikan. Sesudahnya,
Rasulullah berkata, “Lisannya beriman, hanya hatinya ingkar” (Ibnu Qutaibah, 2006: 450).
2 Model lingkaran konsentris ini diadaptasi dari model lingkaran konsentris bertingkat yang
disusun Isma’il R. al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi tentang seni suara dalam Islam. Lihat
al-Faruqi (1986: 457-459).
3 Dalam kaitan ini, penting dikemukakan bahwa, meskipun merupakan fenomena penting
Islam dalam perpuisian Indonesia, “puitisasi” terjemahan Al-Qur’an atau terjemahan Al-
Qur’an yang puitis tidak masuk dalam lingkup tulisan ini. “Puitisasi” terjemahan Al-Qur’an
pernah dilakukan Diponegoro dengan karyanya Pekabaran (1977) dan kemudian H.B.
Jassin dengan karyanya Bacaan Mulia (1991). Bacaan Mulia menimbulkan polemik cukup
luas (tentang polemik sekitar Bacaan Mulia, lihat H.B. Jassin, 2000). Jassin pula membuat
Al-Qur’an Berwajah Puisi, yang juga kontroversial. Karena di luar lingkup tulisan ini, maka
fenomena tersebut tentu saja tidak akan didiskusikan.
4 Penyair generasi sebelum Sutardji Calzoum Bachri yang juga mengalami goncangan
spiritual hebat adalah Rendra. Sebagaimana tampak dari beberapa puisi relijiusnya di
awal hingga pertengahan karir kepenyairannya, terutama “Khotbah” dan “Nyanyian
Angsa”, Rendra mengemukakan renungan-renungan kritisnya terhadap beberapa aspek
ketuhanan dan aktualisasinya dalam kehidupan masyarakat. Dan itu pastilah merupakan
pergolakan relijiusnya. Tetapi, guncangan rohani itu dialami Rendra sebelum dia memeluk
Islam. Setelah memeluk Islam di tahun 1970, guncangan rohaninya sudah reda. Maka,
sejak itu sajak-sajak relijiusnya berisi renungan dan penghayatan ketuhanan sebagai doa
di tengah isu-isu sosial yang menjadi perhatian dan kepeduliannya yang akan didiskusikan
di bawah.
5 Gagasan wahdatul wujud tidak hanya hidup dalam puisi, melainkan juga dalam sastra
Indonesia, misalnya dalam karya-karya Danarto (l. 1940), baik cerpen maupun novelnya.
Untuk diskusi tentang wahdatul wujud dalam karya-karya Danarto, lihat Jamal D. Rahman
(2011).
6 Sebagaimana telah dikatakan, lingkup tulisan ini meliputi puisi sejak generasi 1930-an
sampai generasi 1970-an. A. Mustofa Bisri sebenarnya menulis puisi sejak tahun 1980-an.
Namun dia dibicarakan juga di sini, karena bagaimanapun sebagai penyair dia memiliki
kedudukan penting dalam khazanah puisi Islam Indonesia sejak tahun 1980-an itu,
menyusul posisi penyair-penyair yang menulis sejak tahun 1970-an atau sebelumnya.
Lebih dari itu, dengan puisi-puisi yang terus diciptakannya, dia jelas menempati posisi kian
penting di masa-masa selanjutnya.
7 Penting ditambahkan bahwa dilihat dari keseluruhan puisi A Mustofa Bisri, zikir berkaitan
dengan sistem spiritual sang penyair dalam perkembangan rohaninya sebagaimana dicapai
dalam Sajak-sajak Cinta Gandrung (2000), yaitu cinta ilahiah sebagai dasar utamanya.
Dengan demikian, zikir adalah salah satu manifestasi rohani di jalan cinta ilahiah tersebut.
442