Page 453 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 453
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu
Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu.
Sebagaimana telah dikatakan, corak kedua dari hubungan isu sosial dengan
Islam dalam puisi Indonesia adalah mengemukakan isu sosial dengan, lewat,
atau disertai doa. Puisi sosial seringkali tidak hanya menyatakan keprihatinan
dan simpati kepada korban, atau protes terhadap ketidakadilan dan sejenisnya,
melainkan juga menyampaikan permohonan kepada Tuhan berkaitan dengan
pokok-soal yang dibicarakan. Para penyair mengadukan masalah-masalah
sosial yang sangat berat kepada Tuhan, menyadari keterbatasan manusia untuk
menanganinya, seraya mohon ampun sekaligus memohon pertolongan-Nya.
Berbagai masalah sosial yang sangat berat bukan saja merupakan sesuatu yang
empiris, otonom, dan objektif, melainkan juga berkaitan atau dikaitkan dengan
kehendak dan kodrat ilahiah. Fenomena ini muncul dalam beberapa puisi penyair
yang didiskusikan di bagian ini , apalagi menyangkut korban kemanusiaan
19
akibat bencana alam yang dahsyat. Dengan demikian, sampai batas tertentu
orientasi relijius para penyair Indonesia mendorong mereka untuk menyikapi
masalah-masalah sosial dengan membawa serta semangat keagamaan mereka
secara verbal dalam puisi.
Dalam kaitan ini, pentinglah membicarakan Rendra (1935-2009). Sebagai penyair
Indonesia terkemuka, dia adalah penyair penting pula dalam hubungannya
dengan Islam. Rendra adalah penyair yang memiliki kepedulian tinggi terhadap
berbagai masalah sosial dan politik, khususnya melalui puisi-puisi pamfletnya,
yang karenanya dia sempat dilarang, ditangkap, ditahan, diinterogasi, dan
dipenjara, di zaman Orde Baru. Sebagai penyair yang memiliki kepedulian sosial
yang tinggi, dia tidak hanya berbicara masalah sosial atas dasar nilai-nilai dasar
yang diyakininya tentang kehidupan sosial, melainkan juga atas dasar orientasi
20
relijiusnya. Dalam konteks inilah, melalui puisi-puisi sosialnya, yang ditulis Rendra
pada masa-masa akhir hayatnya, penyair mengadukan masalah-masalah sosial
seraya berdoa kepada Tuhan, sebagaimana tampak misalnya dalam puisi “Doa
di Jakarta”, “Doa untuk Anak Cucu”, dan “Doa untuk Bosnia” (Rendra, 1997:
28, 30, dan 38). Dalam puisi “Doa di Jakarta”, kepada Tuhan sang penyair antara
lain mengadukan masalah hidup yang tergadai,/ pikiran yang dipabrikkan/ dan
masyarakat yang diternakkan. Penyair mengatakan juga: alangkah tak masuk
akal/ jarak selangkah/ yang berarti empat puluh tahun gaji seorang buruh,/ yang
memisahkan/ sebuah halaman bertaman tanaman hias/ dengan rumah-rumah
tanpa sumur dan wc.... Puisi itu ditutup dengan penegasan bahwa di tengah
439