Page 448 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 448
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
harus dipandang sebagai panggilan relijius para penyair dalam mencintai tanah
air, dan dalam menegakkan nilai universal Islam tentang keharusan manusia
merdeka dari kolonialisme dan berbagai penindasan. Demikian juga puisi-puisi
sosial (dan politik) yang muncul di paro kedua abad ke-20 yang tidak secara
langsung mengacu pada Islam, seperti puisi Taufiq Ismail, A. Mustofa Bisri,
dan Hamid Jabbar (almarhum) , tidak bisa tidak harus dibaca sebagai ekspresi
16
relijius mereka. Dalam kerangka Islam, isu-isu umum dalam puisi bagaimanapun
merupakan emanasi, realisasi, dan aktulisasi dari spirit ketuhanan penyair.
Tetapi, bagaimanakah Islam tampil di tengah isu-isu sosial dalam puisi,
sebagaimana tampak dalam puisi itu sendiri? Bagaimanakah Islam mengambil
tempat secara langsung di tengah isu-isu sosial dalam puisi Indonesia?
Bentangan isu-isu sosial dalam puisi begitu luas, menyangkut isu-isu umum
dan khusus. Secara umum, puisi berbicara tentang kebobrokan moral, borok-
borok sosial, ketidakadilan, ketidakbecusan negara dalam memberikan layanan
publik, kebodohan individual dan kolektif dalam menjalani hidup, keterasingan
manusia sebagai korban sosial dan politik, dan lain sebagainya. Secara khusus,
puisi berbicara tentang korban kemanusiaan akibat kebijakan politik dan
militer terutama di Aceh, masalah kemiskinan dan nasib orang-orang miskin,
keterbelakangan di bidang pendidikan, korban penggusuran, orang-orang yang
terusir dari kampung halaman, korban kekerasan etnis, masalah kemanusiaan
di Palestina dan Bosnia, dan lain sebagainya. Juga tentang korban-korban
17
bencana: longsor, banjir, gempa, dan tsunami. Tema-tema umum dan spesifik ini
dapat ditemukan dalam puisi Indonesia modern, yang tentu saja menunjukkan
keterlibatan puisi dalam isu-isu genting Indonesia. Semua isu ini tentu saja sejalan
dengan spirit universal Islam, dan sekali lagi, dalam puisi para penyair Muslim,
gagasan tentang isu-isu sosial tersebut tentu saja merupakan ekspresi relijius
Islam ―dengan atau tanpa mengacu pada Islam secara langsung. Tetapi, untuk
melihat Islam dalam puisi Indonesia kiranya tidak cukup hanya dengan berangkat
dari asumsi tersebut. Yang lebih penting adalah melihat Islam sebagaimana
tampak dan mengemuka dalam puisi Indonesia itu sendiri. Yakni, bagaimana
penyair mengaitkan masalah sosial yang direnungkan dan diresponnya dengan
Islam dalam puisi mereka, sebagai ekspresi konkrit dari spirit relijius mereka.
Dalam konteks hubungan isu sosial dengan Islam dalam puisi Indonesia, ada dua
corak yang cukup jelas. Pertama, puisi yang menggali dan mengambil berbagai
perbendaraan dari sumber-sumber Islam, atau diilhami oleh sumber-sumber Islam
itu sendiri: Al-Qur’an, Hadis, ajaran dan tradisi Islam, dan lain sebagainya. Sudah
tentu banyak puisi Indonesia diilhami oleh sumber-sumber Islam, langsung atau
tidak, terutama puisi-puisi relijius. Bahkan puisi sosial pun seringkali menggali
sumber-sumber Islam juga. Puisi dalam kategori ini berbicara tentang isu sosial
baik umum maupun khusus, seraya menggunakan perbendaharaan Islam dari
sumber-sumber penting atau skundernya. Perbendaharaan Islam digunakan
antara lain untuk memberikan aksentuasi, ekspresi emotif tentang suatu masalah,
434