Page 443 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 443
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
apa yang ingin dilakukannya tepat ketika dia mendapatkan jalan tersebut,
sekaligus berharap dan memohon dia menerima kembali momen yang sangat
berharga itu, yaitu momen ketika Tuhan berkata lewat sepi.
Nabi Muhammad adalah juga pribadi melalui mana seseorang yang mendaku
sebagai pengikut atau ummatnya melakukan introspeksi diri. Sang pengikut
menyelam ke dalam kesadarannya sendiri, dan di dasar kesadarannya dia
berdialog dengan sang nabi mengemukakan kegelisahan dan kerisauannya.
Apa yang digelisahkan dan dirisaukannya adalah dirinya sendiri: dengan jujur
dia mengakui bahwa secara formal dia mengikuti nabi namun secara esensial
hampa makna. Sudah barang tentu pengakuan akan perasaan hampa makna
ini mengekspresikan hasrat sang pengikut untuk sampai pada makna esensial
ajaran-ajaran sang nabi, yang sebisa mungkin dilaksanakannya dengan
sungguh-sungguh. Dengan demikian, dalam kesadarannya sang pengikut
mengalami ketegangan antara kesanggupannya menjalankan ajaran sang nabi
di satu pihak dan keterbatasannya dalam mencapai makna terdalam ajaran nabi
itu sendiri di lain pihak. Lebih dari itu, apa yang diakuinya bahkan merupakan
sebentuk hipokrisi, kepuran-puraan atau bahkan kemunafikan pada diri sendiri,
yang dengan sendirinya merupakan pengakuan atas kemunafikannya pada sang
nabi. Tak pelak lagi, pengakuan terbuka yang disampaikan langsung kepada
nabi ini merupakan sebentuk introspeksi yang amat dalam. Puisi A Mustofa Bisri
(1995: 86-88), “Ya Rasulallah”, mengemukakan pengakuan itu:
...
ya rasulallah
mulut dan hatiku bersaksi
tiada tuhan selain allah
dan engkau ya rasul adalah utusan allah
tapi kusembah juga diriku astaghfirullah
...
ya rasulallah
ragaku berpuasa
dan jiwaku kulepas bagai kuda
....
Lebih dari sekadar mengemukakan kesadran penyair sendiri, pengakuan
itu sesungguhnya mengemukakan fakta umum namun tersembunyi atau
disembunyikan di balik rimbun kesalehan formal. Ia mewakili perilaku pribadi-
pribadi pengikut nabi atau perilaku sosial keagamaan ummatnya, mungkin
tanpa mewakili kesadaran mereka. Tak banyak, jika pun ada, pengikut nabi
yang secara jujur, tulus, dan terbuka menyadari apalagi mengakui kehampaan
makna dari kesalehannya. Dengan demikian, puisi tersebut lebih merupakan
429