Page 442 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 442
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
bertanya tentang apa yang mesti dibaca setelah mendapat wahyu iqra’, puisi itu
mengemukakan ketenangan batin nabi yang sesungguhnya bergolak. Situasi itu
adalah segalanya, sebuah momen yang tenteram dan damai, sebuah momen
pencerahan batin di mana ada sesuatu yang terpandang bening/ dalam diriku,
antara dinding,/ di mana terbubuh nama-Mu,/ yang menyajikan damai itu.
Momen itu adalah damai tak tepermanai: .../ Ada sekali peristiwa/ Di relung-
relung sunyi Hira/ Terdengar seru:/ ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu’// Maka
terbacalah./ Tapi terbaca juga sepi ini kembali,/ menggetar, pada senyum
penghabisan/....
Tetapi, justru dalam situasi damai itu tetap tersimpan kegelisahan batin nabi,
sesuatu yang semula mendorongnya menyepi ke gua Hira. Kedamaian tak
tepermanai tidak menyelesaikan dan menyudahi kegelisahannya. Bagaimanapun
nabi adalah seorang perenung, yang terus merenungkan hidup, alam, dan
sebagainya bahkan ketika dia mencapai puncak pencerahan spiritual yang
memukau itu. Nabi terpukau, namun tidak tenggelam dalam keterpukauannya.
Dia seakan tetap mengambil jarak dengan dirinya, juga dengan situasi yang
tengah dialaminya. Bait puisi itu selanjutnya melukiskan kegelisahan nabi yang
tak selesai: .../ Bila langit pun kosong, dan berserakan bintang/ mengisinya:
tidakkah akan kami gelisahkan, tuhan/ segala ini? Tidakkah semacam duka/
untuk memburu setiap kata, setiap justa/ tentang kejauhan-Mu, tentang
rahasia?/ ....
Momen pewahyuan justru merupakan kesempatan di mana nabi menyampaikan
apa yang digelisahaknnya kepada Tuhan, yaitu tentang semesta yang penuh
rahasia dan begitu fana, dengan langit kosong dan bintang-bintang yang
bertaburan mengisinya. Yang tak kalah penting, atau bahkan lebih penting
lagi, adalah apa yang digelisahkannya juga: Engkau tak hendakkan/ kami
terima sedih alam ini,/ alam yang sendiri,/ yang terhampar jauh .... Maka sedih
alam merupakan pusat perhatian dan kegelisahannya, yang ingin ditepis dan
ditanganinya. Dan, momen pewahyuan, juga wahyu itu sendiri, adalah jawaban
sekaligus jalan untuk menepis dan menangani apa yang digelisahkannya.
Karena Tuhan berkata lewat sepi, lewat usia, sebagaimana dikatakan penyair
dalam puisi itu, Maka berikanlah sunyi itu kembali.
“Meditasi”, puisi Goenawan Mohamad itu, adalah sebuah gambaran tentang
situasi pewahyuan yang pertama kali dialami Nabi Muhammad di gua Hira, di
mana nabi menemukan kedamaian rohani, namun kedamaian rohani itu tak
lantas mengakhiri kegelisahannya. Momen itu seakan menyadarkan nabi bahwa
dia telah menemukan apa yang selama ini dicarinya, yang karenanya dia tidak
gentar apalagi ketakutan menghadapi situasi tersebut, yaitu menemukan jalan
untuk mengatasi sedih alam, memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya
sendiri dan masyarakatnya. Dirumuskan dengan cara lain, setelah menemukan
jalan bagi apa yang ingin diatasinya melalui pewahyuan, dia menegaskan lagi
428