Page 445 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 445

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           berbaur dengan dimensi fisikal itu penting, sehingga penting pula dipecahkan
           dan dijelaskan. Tapi bagaimanapun, yang lebih penting adalah makna dan
           moral dari momen yang musykil itu, di antaranya ialah tanggung jawab atas
           nasib manusia, tanggung jawab atas sejarah. Secara formal isra’-mi’raj adalah
           momen ketika mana nabi mendapatkan perintah shalat lima waktu, tapi makna
           esensialnya adalah tanggung jawab atas nasib manusia.


           Dengan demikian, jalan spiritual nabi tidak untuk dunia spiritual itu sendiri,
           melainkan justru untuk kehidupan konkret di dunia nyata. Puisi Abdul Hadi
           W.M. (1984: 56), “Mikraj”, menggarisbawahi moral mikraj nabi: .../ Kupenuhi
           isi dadamu:/ nasib manusia/ bentangkan kedua tanganmu!/ .... Tugas kenabian
           adalah  membentangkan  kedua  tangan  bagi  nasib  manusia:  menyelamatkan
           mereka dari berbagai kehancuran; menolong mereka dari berbagai ancaman
           atas kemanusiaan. Puncak dari pengalaman spiritual nabi pada akhirnya kembali
           pada dan untuk manusia serta kemanusiaan. Maka, setelah mencapai puncak
           kerohanian, nabi turun kembali ke bumi untuk menjalankan tugas-tugasnya
           sebagai nabi, untuk memenuhi panggilan kenabiannya. Itulah esensi mi’raj nabi.

           Puisi Abdul Hadi berjudul “Mikraj”, yang dengan jelas lebih menggarisbawahi
           puncak pengalaman spiritual nabi tinimbang perjalanan malamnya. Isra’
           “hanyalah” bentuk kompleks dari perjalanan malam, yang secara sederhana
           merupakan perjalanan kerohanian di malam hari, waktu yang paling baik untuk
           aktivitas kerohanian. Isra’ —yang secara harfiah berarti Tuhan memberangkatkan
           nabi di  malam hari— mengandung  arti keaktifan Tuhan dalam aktivitas
           kerohanian nabi. Dan itu merupakan buah dari usaha maksimal nabi sendiri
           untuk mencapai puncak kerohanian. Dengan demikian, puncak kerohanian
           nabi tak hanya dicapai atas intensitas usahanya sendiri, melainkan juga atas
           kehendak dan rencana Tuhan: Dia ambil bagian secara langsung dalam aktivitas
           kerohanian nabi yang sudah lama intens. Tapi bagaimanapun, isra’ “hanyalah”
           jalan menuju mi’raj, puncak kerohanian tertinggi yang tak tertandingi. Maka,
           mi’rajlah yang mengadung makna dan moral terpenting dari seluruh pengalaman
           spiritual nabi. Sekali lagi, esensi mi’raj adalah membentangkan kedua tangan
           bagi nasib manusia. Dan itulah yang disambut gembira oleh pohon-pohon
           kurma di tepi ka’bah:

                pohon-pohon kurma
                di tepi ka’bah
                di pusat Mekkah
                menyanyi dalam gaib malam
                dan mengucap salam
                ke seluruh alam
                yang mencecahkan lautan
                 ....








                                                                                                431
   440   441   442   443   444   445   446   447   448   449   450