Page 450 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 450

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                          Demi yang sama terpacu berdengusan
                                          Yang sama mencetuskan api berdenyaran
                                          Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
                                          Menerbangkan debu berhamburan
                                          Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan
                                          ....





                                    Dalam pada itu, Surat Al-Qâri’ah mengisahkan kehidupan akhirat, yakni hari
                                    ketika manusia bagaikan belalang bertebaran/ dan gunung-gunung bagaikan
                                    bulu dihambur-terbangkan.

                                    Setelah merenungkan ayat-ayat Tuhan itu, di mana penyair merasa: Menggigil
                                    ruas-ruas tulangku dalam firmanMu, akhirnya sang penyair sampai pada
                                    renungan pribadinya: Ya Tuhan/ ke manakah gerangan belalang malang ini
                                    ‘kan terkapar?/ Gunung amal yang dibanggakan/ Jadikah selembar bulu saja
                                    memberati timbangan/ Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya/ bagi
                                    persembahan api Hawiyah? Ya, puisi tersebut merupakan renungan pribadi
                                    penyair, bukan puisi sosial. Tapi tunggu. Setelah renungan yang sangat
                                    kontemplatif itu, secara mengejutkan puisi ditutup dengan larik-larik ini:

                                          Telah selesai ayat-ayat dibaca
                                          Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
                                          Marilah kita ikuti acara selanjutnya
                                          Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
                                          Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
                                          Masih banyak keinginan yang belum tergapai
                                          Marilah kembali berlupa
                                          Insya Allah Kiamat masih lama.
                                          Amien.





                                    Jadi, setelah puisi berisi renungan relijius yang bersifat pribadi itu, yang
                                    membawa pembaca terhanyut dalam renungan yang sangat kontemplatif, puisi
                                    diakhiri dengan sebuah ironi. Renungan kontemplatif yang sangat relijius ―
                                    yang dengan kuat mengingatkan pembaca pada kehidupan akhirat― ternyata
                                    hanya sesaat, untuk segera dilupakan oleh daya tarik akan urusan dunia, sebab
                                    kiamat masih lama. Pada titik inilah puisi tersebut bukan hanya puisi yang berisi
                                    renungan pribadi, melainkan merupakan puisi sosial, di mana ia menyajikan
                                    ironi sosio-keagamaan dengan jenaka dan pahit. Demikianlah puisi “Tadarus”
                                    merupakan renungan relijius sekaligus menyindir kecenderungan masyarakat
                                    dalam menjalankan kesadaran keagamaan mereka.






                    436
   445   446   447   448   449   450   451   452   453   454   455