Page 133 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 133

120      Gubernur Pertama di Indonesia



            tanggungannya.  “Tapi  pada  dasarnya  ia  adalah  seorang  nasionalis
            yang baik,” ujar salah seorang sahabat Soerjo itu.
                    Kepentingan rakyat banyak menjadi perhatian utama Soerjo.
            Ketika bertugas sebagai wedana di Sidorajo pada 1933, banjir tiba-
            tiba melanda kawasan Porong (masuk dalam Kewedanaan Sidoarjo)
            dan  menimbulkan  penderitaan  terutama  bagi  para  petani  yang
            mengalami gagal panen. Dengan kejadian itu, Soerjo merasa terpukul
            dan  bertekad  mencegah  kejadian  yang  sama  terulang.  Dengan
            bantuan  rakyat,  ia  langsung  terjun  memperbaiki  tanggul-tanggul
            yang sudah rusak.
                    Contoh  yang  lain,  saat  menjadi  bupati  di  Magetan,  Soerjo
            banyak  melindungi  rakyatnya  dari  kesewenang-wenangan  militer
            Jepang.  Ia  melarang  keras  kepada  warganya  terlibat  dalam
            pengumpulan  kaum  perempuan  untuk  pemuas  nafsu  para  serdadu
            Jepang.  Entah  segan  atau  merasa  memerlukan  peran  Soerjo,
            balatentara Jepang pun tak pernah berani mengusik pendirian bupati
            Magetan  itu.  Ketika  pemerintahan  pendudukan  Jepang  membentuk
            Badan  Penyelidik  Usaha-usaha  Persiapan  Kemerdekaan  Indonesia,
            Soerjo diangkat sebagai anggota.
                    Pada  masa  awal  Indonesia  merdeka,  Presiden  Sukarno
            mengangkat  Soerjo  sebagai  gubernur  pertama  Jawa  Timur.  Dalam
            posisi   itulah,   Soerjo   membuktikan   jiwa   nasionalismenya:
            membangkitkan  kaum  Republik  di  Jawa  Timur  terutama  saat
            berhadapan  dengan  pasukan  Sekutu  yang  datang  ke  Pulau  Jawa
            sebagai pemenang Perang Dunia II. Soerjo tak pernah merasa takut
            menghadapi musuh. Ketika Mayor Jenderal E. C. Mansergh mencoba
            menggertaknya, ia malah balik menggertak pemimpin tentara Inggris
            di  Surabaya  itu.  Termasuk  saat  ia  menolak  “panggilan”  Mansergh
            untuk menghadapnya pada 9 November 1945.
                    Penolakan  Soerjo  itu  melahirkan  ultimatum  Inggris  kepada
            rakyat  Surabaya  untuk  secepatnya  bertekuk  lutut.  Sebagai  wakil
            Republik  Indonesia  di  Surabaya,  Soerjo  lantas  meminta  pendapat
            Presiden  Sukarno  di  Jakarta.  Sukarno  mengangkat  bahu  dan
            menyerahkan  keputusan  kepada  Soerjo  sendiri.  Maka,  setelah
   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138