Page 138 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 138
R. M. T. A. Soerjo 125
masa depannya ketimbang menuruti gejolak mudanya. “Pikir dahulu
pendapatan, sesal kemudian tak berguna,” ujar sang ayah.
Soerjo tak pernah membantah apa pun terhadap kedua
orangtuanya. Ia yakin orangtuanya pasti memiliki harapan dan
maksud yang baik dengan nasihatnya. Hingga hari-hari terakhir di
OSVIA, Soerjo bisa menahan gejolak perasaan tidak senang kepada
sinyo-sinyo itu. Namun, diam-diam ia memupuk semuanya hingga
menjadi butiran kristal patriotisme yang menjadi modal utama kelak
saat ia ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
JALAN MENUJU GUBERNUR
Pada 1918, Soerjo lulus dari OSVIA Madiun. Beberapa bulan setelah
kelulusannya, ia diangkat sebagai GAIB (Gediplomeerd Assistant
Inlandsch Bestuursambtenaar) di kantor Kontrolir Ngawi. Kali
pertama datang ke Ngawi, ia menetap di rumah adik iparnya, Raden
Mas Sayid yang baru saja menikahi adik perempuan Suryo bernama
Raden Ayu Kustinah. Namun beberapa bulan kemudian, Soerjo
memutuskan tinggal di rumah eyangnya—eks Patih Magetan—yang
tengah menikmati masa pensiun di Ngawi.
Dua tahun kemudian, Soerjo dipindahkan ke Madiun dan
diangkat sebagai Mantri Polisi. Melihat bakatnya yang luar biasa,
atasannya menyekolahkan Soerjo ke Sekolah Polisi di Sukabumi pada
1922. Pada waktu itu, pengetahuan tentang ilmu kepolisian sangat
berguna untuk menunjang tugas seorang pamong praja. Selesai
sekolah dari Sukabumi, Soerjo ditempatkan sebagai wedana di
wilayah Karangrejo, Glodog, Madiun.
Seolah anak panah yang diluncurkan, karier
kepamongprajaan Soerjo terus melesat. Pada 1926, pemerintah
Hindia Belanda mengangkatnya sebagai asisten wedana di Madiun
Kota. Di tempat yang membesarkannya sebagai seorang pamong
praja, Soerjo menemukan jodohnya yakni Raden Ayu Mustapeni,
putri dari Raden Adipati Hadiwinoto, Bupati Magetan. Kendati