Page 143 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 143

130      Gubernur Pertama di Indonesia



                    Bupati Soerjo sejatinya sangat membenci perilaku penguasa
            militer Jepang, namun  ia sadar sementara dirinya tidak berbuat apa-
            apa selain menerima uluran kerja sama dengan mereka. Namun, jauh
            dalam hatinya, Soerjo yakin bahwa keberadaan orang-orang Jepang
            di  Indonesia  tidak  akan  lama.  Selain  melihat  kondisi  perang  yang
            pelan-pelan  menyudutkan  posisi  Jepang,  terutama  setelah  Amerika
            Serikat terlibat, jauh sebelumnya para orang tua sudah meramalkan
            bahwa “orang-orang kate bermata sipit itu” tak akan lama berada di
            Nusantara.
                    Hari  demi  hari,  Bupati  Soerjo  tetap  memimpin  rakyat
            Magetan dalam suka dan duka. Kendati memutuskan untuk bekerja
            sama dengan penguasa militer Jepang, sikap Soerjo jauh dari watak
            seorang penjilat. Itu dibuktikan dengan tidak sudinya ia memenuhi
            permintaan  penguasa  militer  Jepang  mengumpulkan  perempuan
            muda  untuk  diserahkan  kepada  para  serdadu  sebagai  pelampiasan
            nafsu  mereka.  Sikap  tegas  sang  Bupati  tidak  saja  dianut  sendiri,
            namun kerap ia katakan sebagai perintah resmi kepada bawahannya.
            “Jangan  sampai  mau  disuruh  mencarikan  perempuan  oleh  orang-
            orang Jepang,” katanya kepada teman-teman sejawat dan para anak
            buahnya.
                     11
                    Ketegasan  dan  keberanian  Soerjo  juga  terlihat  saat  ia
            memarahi  seorang  opsir  Jepang  yang  mengamuk  di  pendopo
            kabupaten  Magetan  sekira  1943.  Alih-alih  mendapat  teguran  dan
            hukuman,  pemerintah  militer  Jepang  malah  semakin  menghargai
            Soerjo. Mereka maklum bahwa pemimpin berwibawa seperti Soerjo
            merupakan  aset  berharga  untuk  menggerakkan  rakyatnya  saat
            menghadapi Sekutu.
                    Sementara    itu,   penguasa    militer   Jepang    mulai
            mengkonsolidasi  dan  mengubah  sistem  pemerintahan  di  bekas
            jajahan  Belanda.  Guna  mengatur  tata  kelola  pemerintahan,  maka
            pada  September  1943,  mereka  mengangkat  tujuh  orang  Indonesia
            terkemuka  sebagai  penasihat  pada  pemerintahan  militer  Jepang.
            Mereka  adalah  Ir.  Sukarno  sebagai  Somubu  (pimpinan  Departemen
            Urusan  Umum),  Mr.  Suwandi  sebagai  Naimubu  (pimpinan
   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148