Page 144 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 144

R. M. T. A. Soerjo      131



               Departemen Urusan Dalam Negeri), Dr. Abdul Rasyid sebagai wakil
               Naimubu,  Prof.  Mr.  Dr.Soepomo  sebagai  Syihobu  (pimpinan
               Departemen Kehakiman), Mochtar bin Prabu Mangkunegoro sebagai
               Kosubu (pimpinan Departemen Lalu Lintas), Mr. Muhammad Yamin
               sebagai Sendenbu (pimpinan Departemen Propaganda), dan Prawoto
               Sumodilogo sebagai Sangyobu (pimpinan Depatemen Ekonomi).
                      Di tingkat daerah, pemerintah militer Jepang menghapus tiga
               provinsi  di  Pulau  Jawa  yaitu  Jawa  Barat,  Jawa  Tengah,  dan  Jawa
               Timur.  Sebagai gantinya,  pada 8 Agustus 1942 dibentuk 17 daerah
               syu  yang  dipimpin  oleh  seorang  syucokan  (setara  dengan  jabatan
               residen  pada  masa  kolonial  namun  kekuasaannya  seperti  seorang
               gubernur).   Dalam  hal  ini,  Soerjo  diangkat  sebagai  syucokan  di
                         12
               wilayah Bojonegoro pada 10 November 1943.
                      Penguasa  militer  Jepang  menjadikan  wilayah  bekas  jajahan
               Belanda  sebagai  modal  perang  melawan  Sekutu.  Dengan
               memanfaatkan tanah subur dan produktif, mereka memaksa rakyat
               untuk memberikan sebagian besar hasil pertanian kepada penguasa
               militer Jepang. Padi yang merupakan makanan pokok penduduk pun
               tak lepas dari incaran mereka. Akibatnya rakyat tak bisa menikmati
               hasil jerih payahnya dan terpaksa hidup miskin karena tak memiliki
               apa-apa lagi.
                      Bukan  hal  yang  aneh  jika  saat  itu  rakyat  hanya
               mengkonsumsi  singkong,  jagung  bahkan  akar  pohon  pisang  untuk
               pengganti nasi. Sebagai lauknya, mereka terpaksa memakan bekicot,
               tikus sawah dan belalang. Ketiadaan uang membuat rakyat juga tak
               memiliki  daya  beli.  Untuk  pakaian  sehari-hari,  mereka  terpaksa
               menjadikan  karung  goni  sebagai  bahan  baju  dan  celana.  “Kalau
               dipakai rasanya tidak enak dan gatal luar biasa karena pakaian goni
               yang kami pakai sering dijadikan sarang kutu busuk,” ujar Kasmijo
               (93), salah seorang penduduk Magetan yang pernah mengalami masa
               penjajahan Jepang.
                                 13
                      Selain  menjadikannya  tenaga  logistik,  penguasa  militer
               Jepang  memaksa  orang-orang  yang  masih  muda  terlibat  dalam
               persiapan  perang.  Puluhan  ribu  kaum  lelaki  produktif  dijadikan
   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149