Page 142 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 142

R. M. T. A. Soerjo      129



               Jepang,  namun  tak  berdaya  dalam  setiap  pertempuran.  Akhirnya,
               pada  8  Maret  1942,  Gubernur  Jenderal  A.  W.  L.  Tjarda  van
               Starkenborgh  Stachouwer  dan  Panglima  Tertinggi  KNIL  Jenderal
               Hein ter Poorten menyerah kepada Panglima Tentara Jepang Ke-16
               Jenderal  Hitoshi  Imamura  di  Kalijati,  Jawa  Barat.  Sejak  itu  Hindia
               Belanda di bawah kuasa militer Jepang.
                                                    8
                      Kedatangan Jepang yang mengklaim sebagai “saudara tua” itu
               semula  disambut  baik  oleh  rakyat  Hindia  yang  sedang  rindu  akan
               kemerdekaan. Sambutan itu kemudian dibalas oleh penguasa militer
               Jepang  dengan  mengizinkan  orang  Indonesia  untuk  mengibarkan
               bendera  Merah Putih serta mengumandangkan lagu Indonesia Raya.
               Bahasa  Belanda  sebagai  bahasa  resmi  sebelumnya  diganti  oleh
               bahasa  Indonesia  dan  jabatan-jabatan  strategis  segera  berpindah
               tangan ke orang-orang Jepang dan bumiputera.
                      Namun  di  Magetan,  situasi  agak  berbeda.  Alih-alih
               memberikan  sambutan  meriah  seperti  di  kota-kota  besar,
               masyarakat Magetan pada  awalnya merasa  bingung dan ketakutan.
               Nyaris  hari  demi  hari,  rakyat  Magetan  tak  berani  untuk  keluar
               rumah. Mereka hanya bisa menunggu dengan cemas, apa yang akan
               terjadi  kemudian.   Soerjo  yang  masih  berposisi  sebagai  Bupati
                                 9
               Magetan,  berupaya  agar  “kelumpuhan  aktivitas”  tersebut  segera
               berakhir. Atas insiatif sendiri, ia menyerukan kepada rakyat Magetan
               untuk tidak perlu takut. Pernyataan tersebut diikuti dengan contoh
               yang  ia  berikan  sendiri:  setiap  pagi  bersama  sang  istri,  Soerjo
               berjalan-jalan di alun-alun Magetan. Kebiasaan itu merupakan simbol
               bahwa dalam kondisi yang tak menentu sekali pun, sang pemimpin
               sama sekali tak meninggalkan rakyatnya.
                                                      10
                      Menyaksikan  bupatinya  berada  di  tengah-tengah  mereka,
               masyarakat Magetan mulai berani keluar rumah untuk menjalankan
               kembali  kewajiban  mereka  sehari-hari.  Kehidupan  pun  berjalan
               seperti sediakala. Berita keberhasilan Bupati Soerjo mengembalikan
               kepercayaan  diri  rakyatnya  didengar  pejabat  militer  Jepang  di
               Magetan. Ia pun tetap didapuk untuk memimpin rakyat Magetan.
   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147