Page 92 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 92
Sumenanjung yang dikecam dengan demikianlah yang disampaikan oleh pesantren semakin tertanam dalam sufistik dan tarekat yang “heterodoks”
pedas oleh Abdullah bin Abdul Kadir pujangga kraton, Jasadipura. tradisi sosial dan jaringan guru dan dengan yang “ortodoks”. Salah satu
Munsyi, tetapi dapat pula merupakan murid dan semakin menjadi landasan konflik yang paling intens ialah antara
saluran bagi lancarnya proses ortodoksi Demikianlah dalam suasana ketika kelembagaan. Tidak kurang pentingnya Shattariah dengan Naqshabandiyah.
di kalangan masyarakat awam, seperti “gelombang” ketiga dari dinamika ialah dalam “gelombang ketiga” inilah
yang dijalankan di Palembang Islam ini sedang marak-maraknya, pula berbagai tarekat bermunculan. “Gelombang ketiga” ini juga mengandung
sebagaimana teks-teks sezaman Kecendurangan sufistik yang bersifat gejala lain yang meninggalkan tradisi
Sistem otoritas dan tradisi politik yang memperlihatkannya, para ulama yang mendalam sampai sekarang.
bercorak “dialog”, telah menunjukkan terlibat dalam berbagai kontroversi pribadi, seperti yang ditunjukkan oleh Dalam arus “gelombang” inilah ulama-
makin dominannya kekuasaan kraton yang bertolak dari pemahaman tentang syair-syair Hamzah Fansuri dan suluk- ulama besar bermunculan—seakan-
suluk Jawa yang sama-sama mempunyai
dan makin menciutnya pengaruh ortodoksi atau ajaran Islam yang akan setiap daerah berlomba-lomba
politik pesantren. Perbandingan “benar”. Dalam gelombang ketiga inilah kecenderungan wujudiyah, kini semakin menghasilkan ulama. “Bintang-bintang”
kisah legendaris Syekh Siti Jenar yang pula kelihatan betapa kecenderungan dilembagakan dalam ikatan “organisasi” terang dunia keulamaan yang telah
dihukum para wali, dengan nasib pemikiran yang semakin menghendaki yang berlandaskan pada kesetiaan bermula sejak masa “gelombang kedua”,
Kyai Mutamakin yang dilukiskan keharusan syariah berlaku dalam murid pada mursyid. Barangkali tidak kini—pada “gelombang” ketiga—telah
dalam Serat Cabolek, secara simbolik sistem ajaran dan kehidupan sosial terlalu jauh dari kenyataan historis menjadi fenomena. Sejalan dengan itu,
memperlihatkan dinamika yang dan pribadi. Sementara itu kraton atau jika dikatakan bahwa pada saat ini pada saat ini pula terbentuk “Silabus”
berbeda. Syekh Siti Jenar dihukum pusat kekuasaan yang telah berada di penyebaran pesantren berkaitan pesantren yang nyaris baku di seluruh
oleh para wali, bukan oleh Sultan bawah “naungan” atau, lebih tepat, pula dengan makin kuatnya proses Nusantara sebagaimana yang jelas
Demak. Maka lahirlah kisah bahwa penjajahan kekuasaan asing pun institusionalisasi pemikiran sufistik, kelihatan dari daftar kitab-kitab yang
darah Syekh Siti Jenar, yang mati semakin larut dalam proses birokratisasi yang individualistis. Tetapi di samping dipakai pesantren. Tetapi, hal yang lebih
dihukum pancung oleh para Wali internal. Kekuasaan karismatis yang bertambah kuatnya kecenderungan ke penting lagi ialah betapa kontroversi
itu, memancarkan bau yang harum diwarisi semakin harus ditempatkan arah “puritanisme” dalam kehidupan aliran keagamaan yang terjadi itu telah
sedangkan tubuhnya hilang begitu dalam struktur kekuasaan yang dapat agama, periode ini juga ditandai oleh pula melahirkan khazanah pemikiran
saja. Kesalahan Kyai Mutamakin tidak menjamin kelanjutan validitas nilai yang dua corak konflik intelektual. Pertama, dalam renungan keagamaan (terutama
jauh berbeda dengan pendahulunya, mendukungnya. antara penekanan keharusan berlakunya dalam lapangan fiqh, hadits, dan tafsir)–
Syekh Siti Jenar–ia telah menyebabkan pertimbangan syariah dan fiqh dalam suatu khazanah yang menyebabkan
keresahan sosial. Tetapi ia tidak Tradisi pesantren (atau dengan kehidupan sosial dan pribadi, dengan Nusantara, seperti yang dikatakan Johns,
dihukum mati. Ia lebih dulu nama lain seperti surau, dayah dan institusionalisasi sufisme. Konflik harus diperhitungkan dalam “peta
dikalahkan oleh Sultan Mataram di sebagainya) telah berumur panjang dan semacam inilah umpamanya, yang pemikiran Islam”.
Kertasura. Sejak kekalahan itu iapun telah berpengalanan lama tetapi dalam terjadi dalam perdebatan antara Syekh
dilarang oleh Sultan, bukan oleh masa “gelombang ketiga” inilah mata Akhmad Khatib al-Minangkabauwi Proses ortodoksi, situasi kontroversi
sidang para ulama, untuk mengajarkan rantai pesantren semakin cepat dan luas dengan para guru tarekat. Kedua¸ di kalangan para tokoh-tokoh
ajaran tarekatnya–-setidaknya menyebar. Dalam periode ini pula tradisi pertentangan antara kecenderungan aliran tarekat, konsolidasi tradisi
80 Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik 81