Page 93 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 93

Sumenanjung yang dikecam dengan   demikianlah yang disampaikan oleh   pesantren semakin tertanam dalam   sufistik dan tarekat yang “heterodoks”
 pedas oleh Abdullah bin Abdul Kadir   pujangga kraton, Jasadipura.  tradisi sosial dan jaringan guru dan   dengan yang “ortodoks”. Salah satu
 Munsyi, tetapi dapat pula merupakan   murid dan semakin menjadi landasan   konflik yang paling intens ialah antara
 saluran bagi lancarnya proses ortodoksi   Demikianlah dalam suasana ketika   kelembagaan. Tidak kurang pentingnya   Shattariah dengan Naqshabandiyah.
 di kalangan masyarakat awam, seperti   “gelombang” ketiga dari dinamika   ialah dalam “gelombang ketiga” inilah
 yang dijalankan di Palembang  Islam ini sedang marak-maraknya,   pula berbagai tarekat bermunculan.   “Gelombang ketiga” ini juga mengandung
 sebagaimana teks-teks sezaman   Kecendurangan sufistik yang bersifat   gejala lain yang meninggalkan tradisi
 Sistem otoritas dan tradisi politik yang   memperlihatkannya, para ulama   yang mendalam sampai sekarang.
 bercorak “dialog”, telah menunjukkan   terlibat dalam berbagai kontroversi   pribadi, seperti yang ditunjukkan oleh   Dalam arus “gelombang” inilah ulama-
 makin dominannya kekuasaan kraton   yang bertolak dari pemahaman tentang   syair-syair Hamzah Fansuri dan suluk-  ulama besar bermunculan—seakan-
            suluk Jawa yang sama-sama mempunyai
 dan makin menciutnya pengaruh   ortodoksi atau ajaran Islam yang   akan setiap daerah berlomba-lomba
 politik pesantren. Perbandingan   “benar”. Dalam gelombang ketiga inilah   kecenderungan wujudiyah, kini semakin   menghasilkan ulama. “Bintang-bintang”
 kisah legendaris Syekh Siti Jenar yang   pula kelihatan betapa kecenderungan   dilembagakan dalam ikatan “organisasi”   terang dunia keulamaan yang telah
 dihukum para wali, dengan nasib   pemikiran yang semakin menghendaki   yang berlandaskan pada kesetiaan   bermula sejak masa “gelombang kedua”,
 Kyai Mutamakin yang dilukiskan   keharusan syariah berlaku dalam   murid pada mursyid. Barangkali tidak   kini—pada “gelombang” ketiga—telah
 dalam Serat Cabolek, secara simbolik   sistem ajaran dan kehidupan sosial   terlalu jauh dari kenyataan historis   menjadi fenomena. Sejalan dengan itu,
 memperlihatkan dinamika yang   dan pribadi. Sementara itu kraton atau   jika dikatakan bahwa pada saat ini   pada saat ini pula terbentuk “Silabus”
 berbeda. Syekh Siti Jenar dihukum   pusat kekuasaan yang telah berada di   penyebaran pesantren berkaitan   pesantren yang nyaris baku di seluruh
 oleh para wali, bukan oleh Sultan   bawah “naungan” atau, lebih tepat,   pula dengan makin kuatnya proses   Nusantara sebagaimana yang jelas
 Demak. Maka lahirlah kisah bahwa   penjajahan kekuasaan asing pun   institusionalisasi pemikiran sufistik,   kelihatan dari daftar kitab-kitab yang
 darah Syekh Siti Jenar, yang mati   semakin larut dalam proses birokratisasi   yang individualistis. Tetapi di samping   dipakai pesantren. Tetapi, hal yang lebih
 dihukum pancung oleh para Wali   internal. Kekuasaan karismatis yang   bertambah kuatnya kecenderungan ke   penting lagi ialah betapa kontroversi
 itu, memancarkan bau yang harum   diwarisi semakin harus ditempatkan   arah “puritanisme” dalam kehidupan   aliran keagamaan yang terjadi itu telah
 sedangkan tubuhnya hilang begitu   dalam struktur kekuasaan yang dapat   agama, periode ini juga ditandai oleh   pula melahirkan khazanah pemikiran
 saja. Kesalahan Kyai Mutamakin tidak   menjamin kelanjutan validitas nilai yang   dua corak konflik intelektual. Pertama,   dalam renungan keagamaan (terutama
 jauh berbeda dengan pendahulunya,   mendukungnya.  antara penekanan keharusan berlakunya   dalam lapangan fiqh, hadits, dan tafsir)–
 Syekh Siti Jenar–ia telah menyebabkan   pertimbangan syariah dan fiqh dalam   suatu khazanah yang menyebabkan
 keresahan sosial. Tetapi ia tidak   Tradisi pesantren (atau dengan   kehidupan sosial dan pribadi, dengan   Nusantara, seperti yang dikatakan Johns,
 dihukum mati. Ia lebih dulu   nama lain seperti surau, dayah dan   institusionalisasi sufisme. Konflik   harus diperhitungkan dalam “peta
 dikalahkan oleh Sultan Mataram di   sebagainya) telah berumur panjang dan   semacam inilah umpamanya, yang   pemikiran Islam”.
 Kertasura. Sejak kekalahan itu iapun   telah berpengalanan lama tetapi dalam   terjadi dalam perdebatan antara Syekh
 dilarang oleh Sultan, bukan oleh   masa “gelombang ketiga” inilah mata   Akhmad Khatib al-Minangkabauwi   Proses ortodoksi, situasi kontroversi
 sidang para ulama, untuk mengajarkan   rantai pesantren semakin cepat dan luas   dengan para guru tarekat. Kedua¸   di kalangan para tokoh-tokoh
 ajaran tarekatnya–-setidaknya   menyebar. Dalam periode ini pula tradisi   pertentangan antara kecenderungan   aliran tarekat, konsolidasi tradisi



 80  Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   81
   88   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98