Page 32 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 32
Sebagai kawasan perbatasan laut, wilayah perairan Natuna rawan terhadap aktivitas
Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Kelompok kapal asing yang banyak
beroperasi di Natuna berasal dari Vietnam dan Thailand. Ada 2 tipe pencurian ikan
yang dilakukan kapal-kapal tersebut. Pertama adalah pencurian ikan semi-legal, yaitu
memanipulasi bendera dengan mengibarkan bendera merah putih, memanipulasi
jumlah kapal yang izinnya hanya satu tapi jumlah yang beroperasi sampai 10 kapal,
atau memanipulasi jumlah anak buah kapal (ABK) yang seharusnya mayoritas orang
Indonesia tetapi ternyata lebih banyak ABK asing. Tipe kedua adalah pencurian
murni ilegal, yaitu kapal asing yang tidak memiliki izin tetapi beroperasi mencari
ikan di perairan Natuna. Pada tipe ini, mereka biasanya lebih bersifat tradisional
(bukan di bawah naungan perusahaan besar seperti pada tipe semilegal ). Mereka
juga membangun kedekatan dengan nelayan lokal, antara lain, melalui saling berbagi
bahan bakar minyak (BBM) dan bekal makanan di laut dengan nelayan lokal Natuna
(Alami, 2014:66—69 ).
Ancaman terhadap Natuna yang kedua adalah potensi hilangnya titik dasar untuk
garis lurus pangkal kepulauan akibat abrasi pantai dan kenaikan permukaan air laut,
terutama di tujuh PPKT-nya. Seperti yang tercantum dari tabel sebelumnya, dari tujuh
PPKT yang ada di Natuna, enam di antaranya memiliki luas kurang atau sama dengan
2
1 km . Sempitnya daratan pulau diperparah dengan kondisi geografis PPKT tersebut
yang menghadap langsung lautan luas, baik Laut Natuna maupun Laut Natuna Utara
(serta Laut China Selatan). Sebagai konsekuensinya, sering terjadi gelombang tinggi,
angin, dan badai laut terutama saat musim angin utara dinamakan demikian karena
angin datang secara terus-menerus dari arah utara (Laut China Selatan) melewati
wilayah Natuna. Musim ini biasa terjadi pada bulan November—Februari (BPS
Kabupaten Natuna, 2018:10). Selain berdampak pada tidak beraninya nelayan untuk
pergi melaut, gelombang besar pada musim angin utara juga berpotensi menimbulkan
abrasi di pulau-pulau kecil terluar. Abrasi ini dapat berakibat fatal jika terjadi pada
lokasi titik dasar yang menjadi acuan dalam menentukan luas wilayah laut teritorial,
landas kontinen, dan ZEE Indonesia.
Faktor lain yang berpotensi mengubah titik dasar adalah kenaikan permukaan air
laut akibat pemanasan global. Menurut penelitian Nababan, Hadianti, dan Natih
(2015), laju rata-rata kenaikan paras laut di seluruh perairan Indonesia adalah 5,84
mm/tahun. Angka ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dari laju rata-rata kenaikan
permukaan air laut global yang berada pada angka 3,2 mm/tahun. Jika menyadari
potensi dampak negatif yang besar tersebut, Pemerintah Indonesia mengusulkan
penelitian bersama tentang dampak kenaikan permukaan air Laut China Selatan bagi
daerah pesisir yang disebabkan oleh perubahan iklim. Usulan tersebut disampaikan
th”
dalam forum the 14 Working Group Meeting on the Study of Tides and Sea Level
Change and Their Impacts on Coastal Environment in the South China Sea Affected
by Potential Climate Change” di Manado, 8 September 2018 (Pramudyani, 2018).
Mutiara di Ujung Utara 15