Page 35 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 35
Peta 9 garis putus-putus tersebut ternyata juga mengklaim sebagian wilayah ZEE
Indonesia di Perairan Natuna. Walaupun secara resmi Indonesia tidak mengakui
klaim Tiongkok tersebut, tetapi dengan kekuatan militer dan politik Tiongkok yang
kuat dipadu dengan pendekatan agresif dan ekspansif di Laut China Selatan, bukan
tidak mungkin tumpang tindih klaim wilayah tersebut dapat menimbulkan masalah
yang besar bagi Indonesia pada masa yang akan datang. Misalnya pernah terjadi
insiden penahanan 8 kapal dan 77 nelayan berkebangsaan Tiongkok oleh kapal
patroli Indonesia pada 20 Juni 2009 disusul dengan insiden serupa pada 22 Juni
2010 (Forbes, 2014: 11). Insiden terakhir yang sempat memicu ketegangan adalah
penangkapan kapal nelayan China oleh kapal patroli KKP. Penangkapan kapal-kapal
nelayan Cina sempat dihalang-halangi kapal coast guard Tiongkok pada Maret dan
Juni 2016 lalu.
C. Mempertahankan Kedaulatan Indonesia di Natuna (Melalui
Perspektif Sejarah)
Sebagian besar ancaman terhadap kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi
Indonesia di Natuna dapat terjadi karena masih belum selesainya delimitasi batas
wilayah maritim Indonesia dengan negara tetangga, serta masih tumpang tindihnya
klaim wilayah Tiongkok di atas wilayah laut Natuna Utara.
Alasan utama Tiongkok mengklaim Laut China Selatan adalah karena sejarah wilayah
kekuasaan kerajaannya (Dinasti Han, Yuan, Ming, dan Qing) sehingga menganggap
Laut China Selatan sebagai traditional fishing zone bagi nelayan-nelayan Tiongkok.
Seperti yang dikatakan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua
Chunying, ”We have stated our position over the weekend on Indonesian navy vessels
harassing and shooting Chinese fishing boats and fishermen. This took place in waters
which is Chinese fishermen’s traditional fishing grounds where China and Indonesia
have overlapping claims for maritime rights and interests ...” (Foreign Ministry…,
2016).
Untuk dapat meng-counter hal ini, Indonesia perlu memperkuat legitimasi kedaulatan
di Natuna dengan data sejarah tentang kepemilikan Natuna. Hal inilah yang mendasari
pentingnya kajian dan penulisan tentang sejarah Natuna bagi pemerintah Indonesia.
Belajar dari kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia sebenarnya sama-
sama mengklaim kepemilikan berdasarkan data sejarah. Bedanya, pihak Indonesia
mengajukan bukti tentang perjalanan nelayan Indonesia yang menjalankan
perdagangan di sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan, serta bukti penurunan sekoci yang
dipersenjatai dari Angkatan laut Belanda saat patroli bersama dengan Inggris untuk
memberantas pembajakan (ICJ, 2002:62). Sementara itu, Malaysia memberikan data
sejarah berupa pengeluaran Peraturan Pelestarian Kura-Kura 1917 yang berlaku
hingga 1954, Peraturan Agraria yang menetapkan dua pulau tersebut sebagai bagian
dari suaka burung, serta pendirian mercusuar tahun 1962 dan 1963 yang dipelihara
secara berkelanjutan hingga kasus ini diajukan ke Mahkamah Internasional (ICJ,
18 Sejarah Wilayah Perbatasan Kepulauan Natuna