Page 34 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 34
Hal ini berpotensi memicu insiden di laut yang dapat berujung pada ketegangan
hubungan antara Indonesia dan negara tetangga. Insiden terbaru terjadi pada 27 April
2019. Saat itu, KRI Tjiptadi-381 yang sedang melakukan patroli di Laut Natuna Utara
menangkap kapal pencuri ikan berbendera Vietnam dengan nomor lambung BD 979.
Karena merasa tidak terima dengan tindakan tersebut, kapal pengawas perikanan
Vietnam bernomor lambung KN 264 dan KN 23 yang mengawal kapal ikan tersebut
pun berusaha menghalangi penangkapan tersebut dengan menabrak lambung kiri
KRI Tjiptadi-381 dan menabrak buritan sebelah kiri kapal pencuri ikan BD 979
yang sedang ditunda/ditarik oleh KRI tersebut. Akibatnya, kapal BD 979 bocor
dan tenggelam (Kuwado, 2019). Untuk menyusul insiden tersebut, Kementerian
Luar Negeri Indonesia mengirimkan nota protes kepada pemerintah Vietnam serta
melakukan penenggelaman terhadap 13 kapal ilegal Vietnam pada 4 Mei 2019,
demikian juga sebaliknya Kementerian Luar negeri Vietnam menyampaikan protes
terhadap penangkapan 12 ABK-nya dalam insiden tersebut. Menurutnya, hal itu
terjadi di wilayah perairan Vietnam yang masih menjadi wilayah tumpang tindih ZEE
kedua negara (Linh Pham, 2019).
Potensi ancaman yang kelima terkait dengan sengketa yang terjadi di Laut China
Selatan, yang berada tepat di utara Laut Natuna Utara. Sengketa ini dimulai pada
tahun 1946 ketika Tiongkok mengklaim bahwa Kepulauan Spratly adalah bagian
dari Provinsi Guangdong. Padahal, kepulauan-kepulauan di Wilayah Laut China
Selatan pada waktu itu sudah diklaim dan dikuasai oleh Jepang saat Perang Dunia
II. Pada tahun 1951, Perjanjian San Fransisco membatalkan semua klaim Jepang
tersebut, tetapi belum dicapai resolusi mengenai status kepemilikannya. Pada tahun
1974, Tiongkok memperluas klaimnya dengan merebut Kepulauan Paracel dari
pasukan Vietnam Selatan. Ketegangan antarnegara makin memanas pada tahun
1988 dengan terjadinya pertempuran antara angkatan Laut Tiongkok dan Vietnam
dalam memperebutkan karang Johnson yang menewaskan 70 tentara Vietnam. Pada
tahun 1991, untuk memformalkan klaim terhadap Spratly dan Paracel, Tiongkok
mengeluarkan Law on the Territorial Sea and the Contiguous Zone of the Republic of
Tiongkok (Raharjo, 2014: 55—70 ).
Republik Rakyat Tiongkok merupakan salah satu aktor utama dalam sengketa
Laut China Selatan yang mengklaim seluruh wilayah tersebut. Klaim Tiongkok ini
didasarkan pada latar belakang sejarah Tiongkok kuno tentang wilayah kekuasaan
kerajaannya. Menurut Tiongkok, Dinasti Han yang menemukan wilayah ini pada
abad ke-2 Masehi. Pada abad ke-12, Dinasti Yuan kemudian memasukkan Laut China
Selatan ke dalam peta wilayahnya, yang kemudian kembali diperkuat oleh Dinasti
Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13 (Suharna, 2012: 33—41 ). Pada tahun 1947,
Tiongkok membuat peta wilayah yang memuat 9 garis putus-putus (nine-dashed
lines) yang membentuk huruf U, yang melingkupi seluruh Laut China Selatan. Semua
wilayah yang berada di dalam garis putus-putus tersebut diklaim Tiongkok sebagai
wilayahnya.
Mutiara di Ujung Utara 17