Page 42 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 42

laut  kelompok suku asing, orang Tambus dan orang Ejong (suku ai-Jong). Kedua,
                 Orang  Kaya  Lingga  yang  berkedudukan  di  Tjoning  (Cening,  Daik  Lingga)  dan
                 kemudian pindah ke Pulau Mepar. Pada masanya, Orang Kaya Lingga sangat terkenal
                 karena banyak masyarakatnya yang mencakup semua kaum Batin Enam Suku, Orang
                 Mantang, Orang Mapor, Karas dan sebagainya. Ketiga, adalah Orang Kaya Bintan,
                 rakyatnya mencakupi semua orang Bintan (Bukit Batu) dan Bintan Penaung di Pulau
                 Bintan.

                 Di bawah ketiga Orang Kaya itu , terdapat pula penghulu sebagai perpanjangan tangan
                 Orang Kaya dan memerintah rakyat yang berada di darat. Kemudian, ada Batin atau
                 Hakim  untuk memerintah  rakyat  yang  berada  di  laut.  Selanjutnya,  para  batin  ini
                 dibantu pula  oleh  pemimpin-pemimpin  yang lebih  rendah  yang disebut juru dan
                 jenang.

                 Pada masa  Sultan Allauddin Riayat Syah III (1597—1655 M) memerintah di Johor,
                 ia memiliki seorang putri yang bernama Engku Fatimah. Engku Fatimah kemudian
                 menetap di Pulau Serindit dan menikah dengan Orang Kaya Serindit Dina Mahkota.
                 Berdasarkan  cerita  rakyat yang  berkembang  di  masyarakat Natuna,  pernikahan
                 keduanya yang dilangsungkan di Pulau Serindit membawa perubahan nama Serindit
                 menjadi  Bunguran.  Bunguran  diyakin  berasal  dari  nama  Kayu  Bungur.  Menurut
                 Kamus  Besar  Bahasa Indonesia (KBBI),  kayu bungur adalah  ‘sejenis  kayu  yang
                 bunganya berwarna ungu’. Berikut kisahnya.

                      Menurut cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Natuna, Sultan Johor
                      ini  mempunyai  seorang putri  yang bernama  “Engku Patimah” yang sejak
                      kecilnya mengidap sakit lumpuh dan tidak dapat berjalan. Oleh karena sultan
                      merasa malu, maka Sultan mengambil keputusan untuk membuang putrinya.

                      Secara diam-diam, memang sudah dipersiapkan oleh pihak Istana Johor untuk
                      kelengkapan  keberangkatan,  yaitu 7 buah  Pejajap  (Perahu) dengan  segala
                      perlengkapannya, termasuk pengawal serta Inang dayangnya yang kesemuanya
                      berjumlah 40 orang. Setelah persiapan rampung maka bertolaklah Sang Putri
                      Engku Fatimah dengan dibekali sebuah “Mahkota”.

                      Setelah berhari mengarungi laut tanpa tujuan sampailah iring-iringan Putri
                      Engku Fatimah itu di pulau-pulau Siantan dan mereka mengambil kesempatan
                      untuk   beristirahat di pulau-pulau tersebut. Setelah selesai beristirahat, mereka
                      segera  melanjutkan perjalanannya.  Berhari-hari  mereka  mengarungi  lautan
                      dan sampailah iring-iringan Putri Engku Fatimah di Tanjung Galing Pulau
                      Sabangmawang. Setelah melihat tempat untuk bermukim kurang memuaskan,
                      mereka memutuskan untuk melanjutkan pelayaran ke Segeram.

                      Akhirnya, iring-iringan Putri Engku Fatimah terdampar di Kukup (Pulau Pasir)
                      atau Jalik di Muara Sungai Segeram. Dan dari sini mudiklah penjajap-penjajap
                      itu  masuk ke  Sungai  Segeram  dan  berlabuh  dekat  suatu  perkampungan.
                      Mendengar ketibaan Engku Fatimah Putri dari Sultan Johor di Pulau Srindit,
                      maka “Datuk Kaya Indra Pahlawan” berdatang sembah. Mengingat kedatangan
                      sang putri membawa  Mahkota Kerajaan yang memerintah  dari  Sultan



                 Mutiara di Ujung Utara                                                           25
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47