Page 43 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 43
Johor, maka dengan senang hati Datuk Kaya Indra Pahlawan menyerahkan
kekuasaan Sang putri. Penyerahan itu diterima pula dengan senang hati oleh
Putri Engku Patimah serta mengajak rakyatnya membangun pemerintahan
yang baru.
Sekitar tahun 1610 Masehi kedatangan Engku Fatimah di “Pulau Serindit”
(Natuna sekarang) menurut cerita rakyat yang berkembang di Natuna, di
Segeram ada seseorang yang di gelari “Demang Megat”, yang mana asal usul
sebenarnya tidaklah diketahui dengan pasti. Dikisahkan, Demang Megat ini
adalah seorang yang hanyut diatas rakit Buluh Betung atau Aur, dan rakit
tersebut hanyut di bawa arus dan masuk ke Sungai Segeram. Di pinggiran
Sungai Segeram banyak terdapat Batang Laning dan rakit tersebut sangkut
diantara sela-sela kayu, dan dari situlah Demang Megat berjangkit-jangkit naik
ke darat. Tubuh Megat berbulu didadanya dan tidak berpakaian sebagaimana
layaknya.
Maka bertemulah rombongan Engku Fatimah dengan Demang Megat di
Daerah Segeram tersebut. Pada pertemuan ini Demang Megat diajak berbahasa
Melayu, tetapi ia tidak mengerti bahasa Melayu, rupanya Demang Megat
hanya bisa berbahasa Siam dan beragama Budha. Kemudian Demang Megat
di Islamkan oleh para pengikut Putri Engku Patimah serta dikawinkan dengan
Tengku Fatimah dengan tidak ada kemalangan apa-apa. Dalam upacara
perkawinan itu Megat diberi gelar “ Orang Kaya Serindit Dina Mahkota “.
Adapun maksud dari kata Dina adalah berasal dari keadaan di Engku Fatimah
sendiri yang merasa dirinya Hina Dina karena cacat lumpuh serta dibuang
oleh ayahandanya Sultan ke Pulau Serindit yang jauh dengan dibekali sebuah
“Mahkota Kerajaan”.
Maka sekitar tahun 1610 Masehi sejak kedatangan Engku Fatimah ke Pulau
Serindit, dan setelah Megat bergelar “Orang Kaya Serindit Dina Mahkota”,
mulailah Pulau Serindit berpemerintahan sendiri dari Kerajaan Johor atas
kuasa Engku Fatimah yang berpusat di Segeram. Megat memerintahkan
rakyatnya membuat sebuah Mahligai tempat bersemayam Engku Fatimah.
Mahligai dibuat dari bahan Kayu Bungur, maka dari nama Kayu Bungur inilah
Pulau Serindit berganti nama menjadi “Pulau Bunguran.”
Pulau Bunguran kemudian menjadi pulau terbesar di antara gugusan tujuh pulau
lainnya yang kemudian disebut Pulau Tujuh. Sementara itu, enam pulau lainnya
adalah Pulau Siantan, Pulau Jemaja, Pulau Subi, Pulau Serasan, Pulau Laut, dan Pulau
Tambelan.
Penyebutan nama Pulau Tujuh tersebut, berdasarkan sumber yang ditulis A.J. Vleer
dalam Memorie van overgave betreffende de onderafdeeling Poelau Toedjoeh, Afdeeling
Tandjoeng Pinang, Residentie Riouw en Onderhorigheden 14 December 1935 telah
tercatat pada tahun 1920. Pada tahun itu, disebutkan bahwa pada awalnya hanya
tujuh pulau yang ada penghuninya, yaitu Jemaja, Siantan, Bunguran, Pulau Laut, Subi,
Serasan, dan Tambelan. Hal itu diperkuat oleh catatan tahun 1933 yang menyebutkan
bahwa tujuh pulau tersebut memiliki ciri khas yang sama (Vleer, 1935:13).
26 Sejarah Wilayah Perbatasan Kepulauan Natuna