Page 48 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 48
Sendari. Ia lalu menyuruh mereka berdua melakukan pendekatan kepada
ayah sang puteri. Demang Lebar Daun menanggapi dengan mengatakan,
‘Jika Tuan mengambil puteri saya sebagai isteri, ia pasti akan menderita
chloasma, namun, jika Tuan mau berjanji pada saya, maka saya akan
menyerahkan puteri saya kepadanya.’
Ketika sang Sapurba menanyakan apa yang ada di dalam pikiran Demang
Lebar Daun, dikatakannya: ‘Semua keturunan saya bersedia menjadi hamba
yang patuh kepadamu Yang Dipertuan, jika mereka diperlakukan dengan
baik oleh keturunanmu. Jika mereka melakukan kesalahan, betapapun
beratnya, jangan permalukan dan hina mereka dengan kata-kata keji.
Sekalipun jika kejahatan mereka hanya pantas diganjar dengan kematian,
itu harus diputuskan menurut hukum ‘Syariah.’ Sang Sapurba menyetujui
syarat-syarat ini dan mengajukan satu syarat darinya: ‘itu akan berlaku
sampai akhir masa bahwa keturunanmu tidak akan berkhianat melawan
keturunanku, sekalipun jika salah satu keturunanku sewenang-wenang dan
kejam.’ Demang Lebar Daun pun menyetujui dan berkata, ‘Jadilah, Tuan.
Namun, jika keturunanmu yang pertama mengingkari janji, maka semua
keturunan saya pun akan mengingkarinya.’ Sang Sapurba setuju, bersumpah
bahwa siapapun yang melanggar janji rumahnya akan tercabut dari tanah.
Setelah janji ini sama-sama disepakati, puteri Demang Lebar Daun, Wan
Sendari, dan Sang Sapurba menikah, tanpa sang puteri menderita chloasma.
Mereka memiliki empat anak, satu puteranya bernama Sang Nila Utama.
Kemudian, Sang Sapurba mempersiapkan perjalanan dengan armadanya,
yang akhirnya mencapai Bintan, yang pada masa itu diperintah oleh seorang
raja perempuan (ratu) bernama Permaisuri Iskandar Syah. Ia mengangkat
Sang Sapurba sebagai saudaranya, dan puteranya, Sang Nila Utama,
dinikahkan dengan puterinya Wan Seri Beni. Sang Sapurba kemudian
meninggalkan Bintan dan meninggalkan puteranya di sini. Demang Lebar
Daun menetap di Bintan karena ia begitu menyayangi cucunya, Sang Nila
Utama.
Sang Nila Utama akhirnya juga meninggalkan Bintan dan membangun
kerajaan baru di Temasik/ Singapura. Setelah wafatnya Permaisuri Iskandar
Syah dan Demang Lebar Daun, Sang Nila Utama menunjuk putera bungsu
Demang Lebar Daun, yang bernama Tun Telanai sebagai penguasa Bintan.
Keturunan Tun Telanai adalah orang-orang yang kemudian memakai gelar
Telanai Bintan, dan memiliki hak untuk makan nasi dan pinang (betel-nut)
di balai pertemuan sultan, serta memakai ikat kepala sutera (Wee, 1985 :
30).
(dikutip sesuai dengan aslinya).
Nilai yang dapat dipetik dalam cerita rakyat ini adalah kenangan mengenai padi
emas Wan Empuk dan Wan Malini di Bukit Siguntang, sebagai hak-hak istimewa
yang melekat pada keturunan Bintan dan klaim bahwa mereka adalah keturunan
pendatang dari Palembang. Yang memperkuat keterkaitan ini adalah ketika informan
menyebutkan pendatang Palembang sebagai ”orang penaung”, yaitu orang-orang
Mutiara di Ujung Utara 31