Page 52 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 52
Berdasarkan sumber tertulis di atas dapat disimpulkan bahwa Bunguran pada masa
Kerajaan Malaka berada di bawah kekuasaan Laksamana Hang Tuah. Hang Tuah juga
disebutkan dalam Sulalatus Salatin sebagai berikut.
”Maka Sultan Mansyur Syah pun memilih Anak Tuan-tuan yang baik-baik
empat puluh orang, dan ”perawangan” yang asal empat puluh orang. Tun Bijaya
Sura akan penghulunya. Adapun Tun Bijaya Sura itu moyang Seri Bija Diraja,
Tun Sabtu namanya; beranakkan Tun Simpan yang ada di Aceh. Adapun segala
”Hanghang” yang bernama sembilan orang iaitu Hang Jebat, dan Hang Kasturi
dan Hang Lekir, dan Hang Lekiu dan Hang Ali dan Hang Sekandar dan Hang
Hassan dan Hang Hussin dan Hang Tuah anak raja Bajung, orang sembilan
itulah yang tiada bertara barang kelakuannya; barang yang tiada terbuat oleh
orang lain, dialah membuatanya.
Syahdan akan Hang Tuah janganlah dikatakan lagi, pertama rupa dengan
sikapnya, cerdik lagi perkasa dengan hikmatnya, lagi berani, tiada dapat seorang
pun menyamainya; dialah sahaja yang lebih daripada yang lain. Apakala ada
orang mengamuk di Melaka itu, apabila tiada terkembari oleh orang yang lain,
maka Hang Tuahlah dititahkan Sultan mengembari dia. Diceritakan orang
yang empunya cerita selama Hang Tuah dalam Melaka itu, ia membunuh
orang yang mengamuk tujuh puluh empat orang, barang yang tiada dapat
siapa-siapa mengembari dia, maka ialah yang mengembari; demikianlah
peri Hang Tuah dalam Melaka. Jikalau ia bergurau sama muda muda maka
disingsingnya tangan bajunya, maka ia memengkis katanya, ”Laksamana akan
lawanku”, maka jadi disebut-sebutlah namanya oleh samanya muda-muda
”Laksamana”. Maka Sultan Mansyur Syah pun turut menyebut nama Hang
Tuah itu Laksamana.
(Ahmad, 2006:119)
Sumber Cina melaporkan bahwa kegiatan untuk meluaskan kawasan Malaka dimulai
sejak pemerintahan Megat Iskandar Syah, Raja Melaka yang kedua. Sejarah Melayu
menyebutkan bahwa ketika Sultan Muhammad Syah memerintah, ”jajahan Melaka
makin banyak. Yang arah ke barat hingga Beruas, Hujung Karang, arah timur
Trengganu.”
Pada tahun 1511 Portugis menyerang Malaka dan pada tahun itu juga Malaka jatuh ke
tangan Portugis. Namun, Sultan Malaka yang terakhir pada saat kejatuhan tersebut
berusaha menghidupkan kembali kebesaran Kerajaan Malaka dengan membangun
pusat pemerintahan baru di Johor. Akan tetapi, pada tahun 1513 pusat pemerintahan
dipindahkan ke Pulau Bintan, yaitu di Sungai Batu dengan pelabuhannya Tebing
Tinggi. Tidak lama sesudah itu pusat pemerintahan itu dipindahkan lagi ke
Kopak, hulu sebelah utara Teluk Riau, tetapi tetap berada di Pulau Bintan dengan
pertimbangan Pulau Bintan terletak pada arus lintas perdagangan internasional dan
mudah melakukan serangan balasan terhadap Portugis di Malaka.
Sejak kejatuhan Malaka itulah, Kerajaan Melayu Malaka berganti nama disesuaikan
dengan daerah pusat pemerintahannya, sedangkan wilayahnya meliputi wilayah
Mutiara di Ujung Utara 35