Page 92 - UKBM-B. Indonesia-smt 3-dikonversi_Neat
P. 92
BIN – 3.8/ 4.8/ 3 / 1.1
pedas. Kalau dia pandai menakar, setiap rasa akan seimbang, hasilnya gurih
dan terkenang,” ujar Ibu sembari menambahkan gula dan garam.
Aku kemudian dimintanya mengaduk dan menambahkan santan kental.
Perlahan- lahan gangan berubah warna dari yang kuning pekat menjadi
sedikit lebih terang. Menjelang api dimatikan, ibu menabur rajangan cabai
merah besar.
“Ambil mangkuk di rak. Hen.”
***
“Ibu menanak beras usang ya?” Saya mengernyitkan dahi begitu menyendok
nasi. Beras usang itu beras lama. Nasinya lebih pera.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Kok yang usang, Bu? Kita kan tidak sedang hajatan.”
“Kau tahu mengapa orang hajatan pantang memakai beras baru?”
“Karena cenderung lebih lembek. Kalau dimasak jadinya sedikit, bisa-bisa
tidak mencukupi jamuan tamu yang datang.”
“Begitulah hakikat orang yang lebih tua. Dia mesti seperti beras usang,
mencukupi banyak orang. Ibu berharap kau juga bisa begitu. Kalau Ibu sudah
tidak ada, kaulah yang tertua di keluarga kita, cukupilah siapa-siapa yang
perlu dibantu.”
“Bu,” rajuk saya lirih. Sejak Bapak wafat, percakapan tentang kematian
memang membuat saya tak nyaman. “Bicara apa Ibu ini. Ibu masih sehat,
pasti panjang umur.”
Ibu mengulas senyum tipis. “Nak, manusia itu seperti sayur dalam
semangkuk gangan umbut. Usia yang paling tua serupa ubi kayu, keras,
hambar. Usia sepertimu mirip dengan potongan waluh. Tidak terlalu keras
dengan sedikit rasa manis. Paling muda ya tidak ubahnya umbut. Lembut dan
manis. Semua sama akan lunak juga setelah dimasak. tidak peduli ia yang
paling keras atau lembut. Kita pun sama, akan wafat juga. Tidak peduli sudah
baya atau masih muda.”
Melihat raut wajah putrinya yang berubah muram, lekas-lekas ibu
menyendokkan gangan ke piring saya seraya berujar, “Sudahlah, jangan
terlalu dipikirkan. Mari kita makan.”
92