Page 188 - BUKU LAPORAN KINERJA DPR RI TS 2022-2023
P. 188
3. Penanganan Perkara dalam Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dalam Perkara Nomor 24/PUU-XX/2022
Pengujian materiil atas Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Undang–Undang Perkawinan) dilakukan karena adanya permohonan dari seorang
karyawan swasta, yang karena adanya Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf
f Undang–Undang perkawinan menyebabkan dirinya tidak dapat menikah dengan
pasangan yang berbeda agama. Pemohon merasa bahwa ketentuan-ketentuan
tersebut mereduksi dan mencampuradukkan makna perkawinan dengan kebebasan
beragama, serta memberi wewenang negara untuk campur tangan dalam urusan
pribadi warga negara dengan menentukan keabsahan perkawinan hanya berdasarkan
kesamaan agama calon suami dan istri secara administratif.
DPR RI, sebagai lembaga pembentuk undang-undang, telah memberikan keterangan,
keterangan tambahan, dan Risalah Pembahasan Undang–Undang Perkawinan. Setelah
melalui proses pembahasan yang cermat, pembentuk undang-undang menyepakati
agar pengaturan mengenai keabsahan perkawinan tidak melanggar agama manapun.
Langkah ini memberikan dasar hukum perkawinan bagi seluruh warga negara
Indonesia, sambil tetap mempertimbangkan ketentuan-ketentuan hukum agama dan
kepercayaan berbagai golongan masyarakat. Tujuannya adalah menciptakan kodifikasi
dan unifikasi hukum yang dapat menyelesaikan perbedaan hukum dalam masyarakat
untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum.
DPR RI menjelaskan bahwa perumusan Pasal 2 Undang–Undang Perkawinan ditujukan
untuk mengatur praktik perkawinan yang sebenarnya sudah dilakukan oleh masing-
masing pemeluk agama. Pasal ini memadukan unsur perkawinan menurut tata cara
agama (religious marriage) dan perkawinan menurut tata cara sipil (civil marriage).
Selain itu, DPR RI menyatakan bahwa negara memberikan kebebasan kepada setiap
individu untuk menentukan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Negara hanya
mencatatkan perkawinan yang sah sesuai dengan agama yang dipeluk, tanpa ada
paksaan, penipuan, atau tekanan dalam hal pemilihan agama pasangan.
Mahkamah Konstitusi dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa keabsahan perkawinan
merupakan domain agama, yang ditentukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan
yang berwenang memberikan penafsiran keagamaan. Peran negara adalah untuk
menindaklanjuti hasil penafsiran tersebut. Mahkamah juga menegaskan bahwa setiap
perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selama
proses pengadilan, tidak ditemukan perubahan keadaan atau perkembangan baru
terkait masalah konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan, sehingga
Mahkamah tetap berpegang pada pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya.
186 Penanganan Perkara Pengujian
Undang-undang Terhadap UUD 1945