Page 45 - MAJALAH 133
P. 45

minimal kamu bisa balik ke kampung halaman dan menjadi   Saat masa ospek (orientasi dan pengenalan kampus)
               petani’,” ujar Kharis menirukan ucapan sang ayah ketika itu.   setiap mahasiswa baru diminta memilih untuk mengikuti
                  Meski pendidikan kedua orangtuanya saat itu lebih   kegiatan yang disukainya. Ia pun memilih bergabung dengan
               dititikberatkan kepada pendidikan agama, namun bukan   Badan Pers Mahasiswa (BPM), saat itulah ia mulai berkenalan
               berarti keduanya menyampingkan pendidikan formal   dengan dunia Pers, Penerbitan dan Percetakan.
               alias akademis bagi Kharis. Lulus TK dan SD Tersidi Lor,   Ketika ada tawaran dari Badan Pers Mahasiswa untuk
               Purworejo, Kharis berhasil melanjutkan sekolah di SMP   mengikuti pelatihan di Jakarta tepatnya di Majalah Tempo,
               Negeri I Kutoarjo kemudian lanjut ke SMA Negeri I Kutoarjo.   ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Apalagi saat
               Kedua sekolah tersebut konon merupakan sekolah favorit   itu jumlah mahasiswa yang boleh mengikuti pelatihan itu
               dan unggulan di daerah tersebut.                   sangat terbatas, yakni tiga mahasiswa untuk satu kampus.
                  Dalam pendidikan formal ini, Kharis pun menuai prestasi   “Pelatihan di Tempo saat itu hanya boleh mengirimkan
               yang cukup membanggakan. Sejak TK hingga Sekolah   maksimal tiga  orang, yakni satu reporter, satu editing dan
               Menengah Atas (SMA) ia selalu menjadi siswa terbaik dan   satu bagian produksi. Dan sayalah di bagian produksi. Baru
               juara di kelas. Bahkan saat SD ia sempat menjadi siswa   kemudian setelah resmi menjadi anggota BPM itulah saya
               teladan ke-empat se Kabupaten Purworejo.           mulai menjadi reporter terlebih dahulu,” kisah Kharis.
                  “Satu hal yang saat itu membuat saya tidak bisa jadi juara   Siapa sangka jika pelajaran dalam pelatihan jurnalistik di
               umum, yakni karena saya tidak bisa menari dan menyanyi.   Tempo yang hanya beberapa hari itu begitu membuat Kharis
               Nilai kesenian saya jeblok, dan salah satu test nya ketika   tertarik. Bahkan saat itu juga muncul ide untuk mendirikan
               itu harus bisa menari atau menyanyi. Saat itu saya diminta
               menari ndolala (tarian khas Purworejo-red),” ungkap Kharis
               sambil tertawa.
                  Di SMA ia mulai aktif berorganisasi, baik organisasi
               kesiswaan di sekolah maupun organisasi remaja masjid.
               Diantaranya ia pernah menjadi Ketua Takmir Masjid,
               sekaligus menjadi pengkhotbah di Masjid SMAN I Kutoarjo.
               KULIAH DAN BISNIS
                  Selepas SMA tahun  1987 Kharis sejatinya ingin sekali
               melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
               yang notabene tidak terlalu jauh dari rumahnya. Namun, ia
               malah diterima di Fakultas Ilmu Ekonomi, jurusan Akutansi
               di Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta-Solo.
                  “Pilihan pertama saya ketika itu kuliah di Teknik
               Informatika ITB, kedua Informatika UGM, dan ketiga
               Akutansi di UNS. Dan ternyata saya diterima di pilihan
               terakhir,” kisah Kharis.
                  Saat itulah babak baru kehidupan Kharis dimulai. Dengan
               berbekal restu dan doa orangtua, serta ilmu yang dimiliki
               sebelumnya, Kharis hijrah ke kota Solo. Ketika itu ia sempat                                 Foto: Rizka
               merasa bingung. Pasalnya, di SMA ia memilih jurusan A1 atau
               Fisika. Sementara di bangku kuliah ia justru dituntut untuk   usaha percetakan di sekitar kampusnya. Di semester dua
               bisa mengikuti perkuliahan di bidang ekonomi, tepatnya   itulah ia mulai merintis bisnis percetakan hingga kini.
               Akutansi.                                             “Saya buka kantor kecil di sekitar kampus, saya
                  Untungnya, hal itu tidak berlangsung lama. Di semester   terima disain segala macam cetakan, dan kemudian saya
               kedua, ia sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan   bekerjasama dengan perusahaan percetakan. Saya katakan,
               plus berbagai mata kuliah di fakultas ekonomi. Bahkan ia   saya baru akan membayar ke rekanan tersebut jika saya
               pun mulai mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan   sudah dibayar oleh pelanggan saya. Dan perusahaan
               di kampus tersebut. Tidak kurang empat kegiatan    percetakan tersebut menyetujuinya. Jadi mudah saja kan...,”
               kemahasiswaan yang diikutinya, yakni Mapala (Mahasiswa   papar Kharis.
               Pencinta Alam-red), Beladiri Merpati Putih, BPPI (Badan   Bisnis percetakan tersebut sejatinya sudah mampu
               Pengkajian dan Pengamalan Islam), serta Badan Pers   membiayai kehidupan Kharis sebagai mahasiswa, sehingga
               Mahasiswa.                                         tentu tidak diperlukan lagi kiriman “jatah bulanan” dari
                  “Di BPPI saya terpilih menjadi ketua bidang. Bersamaan   orang tuanya. Namun, sang ayahlah yang justru tidak
               dengan itu saya juga diangkat sebagai asisten dosen agama   ingin menyetop “subsidi” untuk anak sulungnya iyu. “Jika
               Islam dan asisten dosen sistem informasi akutansi,” ujarnya.   kiriman disetop, pasti tidak ada kewajiban dalam diri



                                                                               PARLEMENTARIA  z  EDISI 133 TH. XLVI - 2016  l  45
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50