Page 50 - MAJALAH 109
P. 50
aat ditemui, wanita bayi berjenis kelamin perempuan. arga Adjeng dari kalangan berada.
berdarah sunda ini, Kelahirannya bertabur sinar mentari Para tetangganya begitu hormat.
senang bisa berbagi pagi yang indah. Tahmid dan takbir
cerita tentang masa ke tiada henti ter ucap. Hari itu, kalen Karena besar di tengah masyara
Scilnya di kampung. Ke der yang tergantung di din ding kat kampung yang miskin dan
nangan indah dan kegetiran hidup menunjukkan 2 November 1961. sederhana, Adjeng terbiasa hidup
menjadi warnawarni tersendiri dari Ayah dan ibu sang bayi kemudian bersama kesederhanaan orang
sepenggal kisah hidupnya di Ban memberi nama Adjeng Ratna Sumi orang kampung. Ia mudah berbaur,
dung. Mendengar kisah hidupnya, nar. Setelah kelahiran Adjeng, masih bermain, bahkan, berbagi. Dari sini
tampak ia seorang pengabdi ma ada 5 adiknya yang lahir kemudian. lah empati dan kepeduliannya pada
syarakat yang tulus. Penuh kesabar Jadi, Adjeng adalah anak ke10 dari masyarakat miskin tumbuh. Sedari
an, tekun, dan merakyat. 15 bersaudara. kecil, Adjeng sudah banyak menyak
sikan kesulitan hidup orangorang
Anak Seorang Wedana Kini, rumah Adhiwijaya dan Dju miskin di sekitarnya. Dan bila di
laeha kedatangan “bidadari kecil” tanya citacitanya sewaktu kecil, ia
Kota Bandung 1961. Di kota ini, te yang menggemaskan. Adjeng hi menjawab ingin mensejahterakan
patnya di Jl. Telaga Bodas 54, ting dup di tengah keluarga religius dan orangorang miskin. Sebuah citaci
gal keluarga terpandang yang san penuh disiplin. Adjeng pun tumbuh ta mulia yang dipengaruhi pengala
gat dihormati masyarakat. Adalah menjadi anak cerdas dan mudah man hidup bersama warga miskin di
seorang wedana di Pandeglang, bergaul. Bersama sahabatsahabat kampungnya.
Banten, bernama R.A.G. Adhiwi kecilnya, Adjeng suka sekali ber
jaya, yang seharihari bertugas di main. Walau anak seorang wedana, Memasuki usia sekolah, Adjeng
Gedung Sate Bandung. Dahulu Ban tapi ia tetap bisa menyatu dengan kecil memulai pendidikan formal
ten masih menyatu dengan Provinsi warga setempat. Permainan favorit nya di SDN Nagrek, Pacet. Jaraknya
Jawa Barat. Ia seorang wedana masa kecilnya adalah bermain karet 1 km dari rumah. Ia biasa berjalan
yang penuh di siplin dan berdedi dan sundah (taplak). Menurut Ad kaki ke sekolah bersama sahabat
kasi. Adhiwijaya adalah pejuang ke jeng, permainan tradisional masa sahabat kecilnya. Kenangan semasa
merdekaan. Ia dekat dengan Hasan lalu sangat menarik dan mencerdas SD dahulu tak pernah terlupakan
Sadikin, pendiri rumah sakit Hasan kan. Ia juga suka sekali bermain di dari memori hidup Adjeng. Ternya
Sadikin, Bandung. tengah hamparan sawah. ta, di sekolahnya hanya Adjeng yang
mengenakan sepatu. Selebihnya,
Di masa pemerintahan Soekarno, Sebelumnya, karena perbedaan tanpa alas kaki. “Waktu itu sepatu
Adhiwijaya aktif mengikuti berbagai pandangan politik dengan Peme saya terbuat dari bahan karet sehar
pertemuan penting. Tercatat, ia per rintahan Soekarno, membuat Ad ga Rp400,” ungkapnya, penuh tawa.
nah mengikuti Konfrensi AsiaAfrika hiwijaya mengajukan pensiun dini.
di Bandung, tahun 1955. Bahkan, Dan kemudian menetap di sebuah Bahkan, di kelasnya tidak banyak
Adhiwijaya sempat mengikuti pe kampung, di Bandung Selatan. Di siswa yang mampu berbahasa
rundingan Linggarjati di Kuningan. sinilah Adjeng meng habiskan masa Indonesia dengan baik. Dan yang
Ia menguasai 7 bahasa asing. Ber kecilnya mulai kelas 2 SD. Kawasan menarik lagi, dahulu temanteman
sama Hasan Sadikin, ia juga mene Bandung selatan dahulu indah sekelas Adjeng yang miskin selalu
tapkan UNPAD, Bandung sebagai menghijau. Udaranya masih sejuk membayar iuran sekolah dengan
universitas negeri. menyegarkan. Hamparan sawah pasir dan batu kali. Hanya Adjeng
membentang sepanjang mata me yang membayar iuran sekolah
Hari itu, Adhiwijaya bersama is mandang. Ada sungai Citarum yang dengan uang. Pasir dan batu diambil
tri tercinta R.H. Djulaeha, sedang masih jernih mengalir. Begitulah
menanti kelahiran anaknya yang kondisi Bandung selatan di tahun
kesepuluh di RS Hasan Sadikin yang 1960an. Ternyata, di
dahulu bernama RS. Rancabadak,
Bandung. Ia dan istri dikarunia ba Senang rasanya mengingat masa sekolahnya hanya Adjeng
nyak keturunan. Awalnya, karena kecil di kampung. “Sejak kecil sudah yang mengenakan sepatu.
5 anak pertamanya perempuan, tinggal di kampung. Jadi, saya me Selebihnya, tanpa alas kaki.
ia ingin sekali punya anak lakilaki. nikmati saja hidup di kampung itu,”
Akhirnya, anak keenam pun laki ungkap Adjeng. Tinggal di sebuah “Waktu itu sepatu saya terbuat
laki. Anak lakilaki baginya sangat kampung di Bandung selatan, mem dari bahan karet seharga
diharapkan. Kini, tiba saatnya kela buat keluarga Adjeng tampak me Rp400,” ungkapnya, penuh
hiran anak kesepuluh. nonjol sendiri dari lingkungan ma
syarakat sekitar. Maklum, ayah nya tawa.
Pagi itu, tangis bayi memecah ke adalah pejabat daerah dan tokoh
sunyian. Tangis pertama dari jabang masyarakat. Secara ekonomi, kelu
50 PARLEMENTARIA EDISI 109 TH. XLIV, 2014