Page 37 - MAJALAH 123
P. 37
minyak domestik dari 1,4 juta barel per hari menjadi
780 barel per hari.
Ditambah lagi, pengguna BBM di Indonesia tak bisa
menggunakan produksi domestik, sehingga harus im-
por. Akibatnya, impor terus bertambah dan mempe-
ngaruhi posisi rupiah. Hal ini semakin mengganggu
ketahanan energi Indonesia.
“Kalau pada saat cadangan devisa menurun karena
cadangan impor bisa mempengaruhi posisi rupiah. Ke-
mudian ketahanan energi kita berkurang. Ini yang ha-
rus dilihat kalau mau merevisi UU Migas,” kata Ramson.
Ia mengatakan kalau dalam pembahasan revisi UU Mi-
gas itu masih didominasi kepentingan politik, maka su-
lit UU Migas tersebut untuk kedaulatan negara. Karena
itu seluruh elemen bangsa ini termasuk pers harus te-
rus mengawal dengan baik.
Golkar itu menyarankan agar dilakukan stabilization
clause untuk memodifikasi perjanjian hukum dalam Menurut dia, problemnya mengatur migas itu dari hu-
setiap kontrak migas. lu-nya. Kalau dulu Pertamina sebagai hulu, pusat pe-
ngaturan perminyakan negara ini, tapi sekarang SKK
Ia percaya, klausul ini dapat melindungi kepentingan Migas dan BPH Migas.
investor jika terdapat UU baru. Tujuan klausul ini agar
bisa menyeimbangkan manfaat atau mempertahankan “Celakanya korupsi justru terjadi di SKK Migas ini, se-
keseimbangan ekonomi dari tanggal efektifnya kon- hingga merusak kepercayaan rakyat bahwa di SKK Mi-
trak. “(Investor) Diberi hak untuk berbicara ke peme- gas malah menjadi sarang koruptor. Di sinilah kurang
rintah, jika ada UU baru dan menyebabkan kontraknya efektifnya UU Migas itu dalam memproduksi minyak,”
tidak ekonomis lagi,” ujarnya. ujarnya.
Selain masalah kontrak, revisi UU Migas juga harus Di tempat yang sama, penasihat Reforminer Institute
memperbaiki tata kelola kelembagaan. Hal ini khusus- Pri Agung Rakh manto berharap pembahasan revisi
nya diperuntukkan bagi lembaga Satuan Kerja Khusus UU Migas yang akan dilakukan DPR masa sidang men-
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(SKK Migas) dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.
“Tata kelola itu akan diatur dalam revisi UU Migas,
termasuk perlu tidak BPH Migas. Soalnya dia bertugas
mengatur migas tapi terbatas sekali. Kalau ide saya sih,
bisa dimasukkan saja ke Ditjen Migas karena fungsinya
yang lebih banyak ke regulasi,” katanya.
Di samping itu, kata Satya Yudha, masukan lain dalam
revisi UU Migas yakni status istimewa Pertamina yang
ingin “dibesarkan” atau disamakan saja dengan kon-
traktor lainnya. “Apakah Pertamina bisa menguasai
blok-blok yang bagus tanpa tender, itu bisa. Jadi dia
merasa seperti tuan rumah di negeri sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi VII Ramson Siagian
mengatakan, perubahan status ini menjadi isu pen-
ting mengingat sistem yang dilakukan SKK Migas tak
berjalan efektif. Hal ini terlihat dari penurunan lifting
PARLEMENTARIA EDISI 123 TH. XLV, 2015 37