Page 53 - MAJALAH 139
P. 53
SMP, kesemua kakak Farid belajar
di pondok pesantren secara penuh.
Sehingga tidak lagi menjalani
rutinitas sebelumnya yang harus
dua kali belajar di sekolah.
Ketika beranjak remaja, dimana
Farid telah memasuki usia Sekolah
Menengah Pertama (SMP) hati Farid
pun mulai merasa plong. Ia tidak
lagi harus menjalani dua kali sekolah
dalam setiap harinya. Bayangan indah
tentang hidup di pondok pesantren
pun semakin menyelimutinya.
Masuk Pondok Pesantren
Sayangnya, kenyataan tak
seindah harapan. Nyatanya meski foto : jaka/iw
sudah berada di pondok pesantren,
pagi harinya Farid tetap harus Farid Alfauzi bersama tim Komisi VI DPR RI saat melakukan kunjungan kerja
pergi ke sekolah di SMP Negeri I
Bangkalan. Pulang sekolah ia harus gunakan waktu tersebut untuk Tidak ada usaha yang sia-sia.
mengikuti sederetan kegiatan yang mengulang pelajaran yang diajarkan Berkat doa dan perjuanganya
sudah dijadwalkan pihak pengasuh sang guru di sekolah. Bahkan ia juga selama setahun belakangan, nama
pondok pesantrennya. Bahkan mempelajari pelajaran yang akan Farid pun termasuk dalam daftar
lebih parahnya lagi, disana ia harus menjadi bahasan keesokan harinya calon mahasiswa teknik kimia yang
menyuci dan memasak sendiri. Saat di kelasnya. Tidak berlebihan saat diterima di kampus tersebut. Bahkan
itu Farid merasa lebih tersiksa dari pembagian raport, ia mendapat nilai ia menjadi lulusan terbaik ketiga dari
sebelumnya. tertinggi di kelasnya. SMA tersebut, dan uniknya ketiga
“Bayangkan setelah subuh saya Begitu pun ketika lulus sekolah lulusan terbaik dari sekolah itu
ngaji ke pesantren lain khusus SMP, Farid berhasil meraih DaNEM memilih kampus dan jurusan yang
mendalami Al Qur’an, karena di (Daftar Nilai Ebtanas Murni) terbaik sama.
pesantren yang saya tempati sudah di SMP tersebut. Saat itu ia mampu Sekitar tahun 1988 Farid
khusus kitab kuning Fiqih dan Hadist. membuktikan bahwa hidup di dalam pun hijrah ke Surabaya untuk
Antrian untuk ngaji Al Qur‘an panjang tembok pesantren dengan berbagai melanjutkan sekolahnya. Di Ibukota
sekali melingkar seperti ular. Tetapi keterbatasan yang dimilikinya, tidak Jawa Timur itulah Farid mulai
untungnya ada paman saya yang menghalangi semangatnya untuk merasakan perjuangan hidup yang
minta ke Kyai agar saya didahulukan maju. Dengan nilai terbesar di sebenarnya. Untuk menghemat
karena akan sekolah di luar pondok sekolah tersebut, dapat dipastikan biaya, Farid memilih tempat kost
pesantren,” cerita Farid. Farid pun diterima di SMA Negeri I yang berjarak sekitar dua kilometer
Usai pulang sekolah di SMP Negeri Bangkalan yang notabene merupakan dari kampusnya. Dinding kamarnya
I Bangkalan, lanjutnya, ada jeda waktu sekolah terbaik dan favorit di daerah pun terbuat dari gedeg. Di belakang
beberapa saat sebelum mengikuti tersebut. rumah kostnya ada banyak kolam
kegiatan lainnya di pondokan pesan- Naik kelas 3 SMA, Farid pun yang didalamnya terdapat biawak-
tren ia gunakan untuk istirahat. meminta ijin untuk pulang ke rumah biawak. Untuk dapat tinggal di rumah
Setelah Adzan Ashar berkumandang alias keluar dari pesantren. Alasannya kost tersebut, ia hanya membayar
dilanjuti sholat berjamaah, Farid tak lain ingin mempersiapkan diri lima ribu lima ratus rupiah per
pun langsung bergabung bersama sepenuhnya bertarung diajang bulannya. Kondisi demikian tidak
santri-santri lainnya untuk mengaji. Sipenmaru (Seleksi Penerimaan membuatnya putus asa. Ia tetap
Hal itu terus dilakukan hingga waktu Mahasiswa Baru) untuk bisa masuk semangat menimba ilmu di Surabaya.
Magrib tiba. jurusan Teknik Kimia di ITS (Institut Dalam hal pelajaran kuliah, kali
Sekitar pukul sepuluh malam, Teknologi Sepuluh November) ini Farid benar-benar “kena batunya”.
disaat seluruh kegiatan di pondokan Surabaya. Ada alasan tersendiri Jika sejak SD hingga SMA ia tidak
selesai, seluruh santri langsung atas pilihannya mengambil jurusan pernah menemui kesulitan dalam
bergegas tidur. Namun tidak tersebut, ia ingin sesuatu yang belajar dan menjawab soal-soal
demikian halnya dengan Farid. Ia menantang. sekolah. Kali ini malah sebaliknya.
PARLEMENTARIA l EDISI 139 TH. XLVI - 2016 l 53

