Page 17 - Stabilitas Edisi 184 Tahun 2022
P. 17
kesimpulan dari laporan Bank Dunia
yang terbit 20 Februari lalu.
Dua pilihan yang tricky itu, kata
laporan itu, masing-masing memberikan
hasil yang cukup berisiko. Apabila
BI tidak ikutan mengerek suku bunga
acuannya mengikuti suku bunga The
Fed, maka ada risiko keluarnya modal
asing (capital outflow) yang tentu saja
memberi dampak pada pelemahan nilai
tukar rupiah.
Di sisi lain, bila BI ikut meningkatkan
suku bunga acuan, maka risiko
pelemahan ekonomi akan meningkat.
Ini bakal mengganggu progres
pemulihan ekonomi yang selama ini
diperjuangkan oleh otoritas. Apalagi
pemerintah Indonesia sudah terikat janji
untuk mengembalikan defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
ke bawah 3 persen Produk Domestik
Bruto (PDB) pada tahun 2023.
Lembaga debitur global itu juga
Menurut laporan menyarankan agar Indonesia harus
Bank Dunia dalam suku bunga The Fed adalah membiarkan mengambil langkah kebijakan dengan
menghadapi risiko rupiah terdepresiasi atau melemah. “Ini hati-hati. Waktu penarikan stimulus
perubahan kebijakan sebenarnya apa yang sedang terjadi, harus diperhatikan dengan baik dan
moneter global ini,
otoritas moneter mengapa rupiah melemah dari Rp14 harus didasarkan pada perkembangan
Tanah Air disebut ribu per dolar AS menjadi Rp 14.400 per ekonomi. “Karena, kombinasi pengetatan
berada dalam kondisi dolar AS,” kata dia. fiskal dan moneter yang dilakukan secara
dilematis.
BI juga diperkirakan akan menempuh bersamaan akan berisiko bagi pemulihan
kebijakan yang memperketat moneter ekonomi Indonesia,” demikian tulis
dengan cara menaikkan giro wajib lembaga tersebut.
minimum (GWM) perbankan secara Bagi bank, setiap kemungkinan harus
bertahap. “Jadi kebijakan BI saat ini sudah disiapkan kebijakan antisipasinya.
dan inflasi masih berada dalam kisaran juga bukan menahan rupiah pada level Menurut salah satu laporan bank
rendah 3 persen. Jika pilihan menaikkan tertentu, tetapi menjaga volatilitas prospek kenaikan suku bunga BI tahun
suku bunga yang diambil, lanjut Chatib, dan arus modal asing,” kata Chatib. ini bisa berdampak pada permintaan
kemungkinan itu baru akan terjadi tahun Meski demikian, pelemahan rupiah kredit, namun hal ini diimbangi oleh
depan, setelah melihat dampak kenaikan diperkirakan tak akan seburuk seperti penurunan suku bunga kredit yang lebih
bunga The Fed. periode normalisasi kebijakan moneter cepat dari penurunan laba korporasi
Di sisi lain, pemerintah juga AS pada 2013. Dua faktor utama yang selama pandemi. Dampak kenaikan
kemungkinan tidak akan memperketat mendukung adalah porsi kepemilikan suku bunga juga diimbangi oleh kuatnya
fiskal pada tahun ini meski defisit APBN asing di surat berharga negara yang kini pertumbuhan CASA (dibandingkan
pada tahun depan ditargetkan kembali hanya mencapai 19 persen dan defisit deposito) belakangan ini.
berada di bawah 3 persen terhadap transaksi berjalan yang rendah. Lanskap perbankan pasca-pandemi
produk domestik bruto (PDB). “Bu tetap lebih menguntungkan untuk
Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani) Dilema Moneter bank-bank besar, yang memiliki rasio
sudah bilang, dia akan terus mendukung Dalam menghadapi risiko perubahan CASA lebih tinggi dan layanan digital
pemulihan ekonomi,” ujarnya. kebijakan moneter global ini, otoritas yang lebih kuat. Di mana pertumbuhan
Oleh karena itu, Chatib menilai, opsi moneter Tanah Air disebut berada dalam transaksi digital akan mengimbangi fee
paling ideal untuk merespons kenaikan kondisi dilematis. Setidaknya itulah per transaksi yang lebih rendah.
www.stabilitas.id Edisi No.184 / Tahun 2022 17

