Page 206 - REFORMA AGRARIA EKOLOGIS
P. 206
Kehilangan rumah dan sumber penghidupan tidak hanya membuat
depresi tetapi juga rasa malu, belum lagi situasi itu menjadi bahan
bullying di sekolah, beberapa anak korban penggusuran memilih
berhenti sekolah karena trauma akibat konflik agraria, mereka
dianggap sebagai anak-anak para pembangkang negara.
Ketika persoalan-persoalan agraria tidak diselesaikan dengan adil
sesuai amanat Konstitsi, bukan tidak mungkin penyelenggara negara
sedang menggerus kepercayaan rakyat kepada negara. Saya mencatat
beberapa kejadian ketidakadilan agraria yang juga telah tersiar di
media sepanjang 2015-2022:
Di Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Desa Pundungsari,
Kecamatan Semin, pada 2008 terdapat peristiwa pencoretan status
Hak Milik menjadi Hak Pakai atas Sertipikat Hak Milik Tanah warga
yang telah diterbitkan tahun 2007, kabar yang saya dengar dari jejaring
warga bidang-bidang tanah itu termasuk SG, jumlahnya tidak main-
main, menurut informasi pegiat Rukun Tani yang mendampingi
warga Pundungsari ada 100 bidang dalam satu desa. Pada tahun 2015,
saya berkesempatan menanyakan secara langsung sebab musabab hal
itu kepada Kakanwil BPN Propinsi DIY (Dr. Arie Yuriwin, SH.) dalam
kapasitas saya sebagai peneliti komunitas, jawabannya persis kabar
yang saya dengar. Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa telah
terbit Surat Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Wahonosartokriyo
Karaton Ngayakogyakarta (No 136/W&K/2000) ditujukan kepada
Kepala Kanwil BPN Propinsi DIY untuk menangguhkan permohonan
Hak Milik atas tanah sepanjang menyangkut Tanah Kraton, surat
itu tertanggal 22 September 2000 atau 12 tahun sebelum UU
Keistimewaan diterbitkan. Kata beliau, surat itu menjadi dasar
pencoretan Hak Milik menjadi Hak Pakai atas bidang-bidang tanah
tersebut, beliau mengakui tak bisa berbuat apa-apa karena posisinya
berperan ganda, baik sebagai pejabat publik di lingkungan BPN yang
bertanggungjawab langsung pada Menteri sekaligus sebagai KRT.
Nyi Kisma Manggalawati, abdi dalem keprajan yang wajib memenuhi
perintah raja Kasultanan. Peristiwa penghapusan hak itu tanpa
BAB V 191
Catatan Harian Petugas Lapangan