Page 425 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 425
Mengklaim Tanah Untuk Reformasi Gerakan Agraria
donesia, meskipun ini mengambil bentuk berbeda di
berbagai negara (lihat misalnya, Bachriadi dan Lucas 2001;
Li 2007). Dalam bab ini, kami menyertakan konflik
lingkungan atas akses ke dan kontrol atas hutan dan
kampanye anti-bendungan dalam penggunaan istilah
konflik agraria, karena hal itu terkait isu-isu hak dan peng-
gunaan sumber agraria berupa tanah. Pertentangan ini
mengambil tempat lebih luas didalam hal pendefinisian
“lingkungan agrarian” (Sivaramakrishnan dan Agrawal
2003), sebuah istilah yang mengakui bahwa situs tersebut
tidak selalu dipisahkan menjadi wacana terpisah dan do-
main dari “Kehutanan” dan “pertanian”.
Gerakan agraria di Indonesia dan hubungan trans-
nasional mereka sangat disebabkan karena politik tertentu
dan momen sejarah dimana mereka muncul dalam bentuk-
bentuk yang berbeda. Tekanan besar repeasantization 182
melalui pendudukan tanah dan pembentukan organisasi
pedesaan baru telah terjadi setelah lebih dari 30 tahun
terjadinya depolitisasi dan kekerasan terstruktur sejak
pembantaian besar-besaran ditahun 1965-1966 (Cribb 1990)
dan, pengambilalihan tanah secara sistematik oleh badan-
badan negara di Indonesia dan kroni-kroni mereka di sektor
(Fauzi 1999; Farid 2005). Gerakan agraria yang baru,
secara simultan muncul bersamaan dengan upaya-upaya
dan usaha desentralisasi serta kerja-kerja penguatan
masyarakat sipil (Robison dan Hadiz; Hadiz 2004a, 2004b).
Kekhasan ini membuat gerakan agraria Indonesia menjadi
unik dan penting untuk dipahami karena mereka dibatasi
dalam kemampuan mereka untuk terhubung dengan
182 “petani” di sini merujuk kepada para petani kecil dan pemilik tanah
yang tidak memiliki lahan di luar area yang diduduki. Kata, ‘Petani’
di Indonesia diterjemahkan baik “peasant” atau “farmer”. Aktivis
agraria di1990-an secara eksplisit memilih untuk diterjemahkan
menjadi “petani” dalam bahasa Inggris untuk konotasinya yang lebih
radikal.
411

