Page 426 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 426
GERAKAN AGRARIA TRANSNASIONAL
jaringan transnasional sampai akhir 1990-an. Di bawah
kondisi represif rezim “Orde Baru’-nama dari rezim
Soeharto yang dikenal selama 32 tahun (1966 -98)-, aktor-
aktor gerakan lingkungan dan agraria Indonesia kerap
harus berada dalam kondisi terpaksa untuk memperta-
hankan bentuk solidaritas, meski mempunyai beberapa
perbedaan ideologi.
Kasus Indonesia juga menunjukkan bahwa kekuasaan
negara tetap penting, meskipun dalam bentuk dan cara
kelembagaan yang baru, dalam transisi dari pembangunan
oleh negara (termasuk tapi tidak otoritarian) menuju
pembangunan ekonomi politik yang didominasi oleh
kebijakan neoliberal (lihat juga, Borras 2004). Memang,
itu melibatkan aktor negara dan lembaga dalam berbagai
koalisi yang terbentuk antara gerakan lingkungan dan
agraria yang juga ditentukan oleh kemampuan mereka
untuk mendapatkan tanah - zona spasial – akibat pengaruh
lokal, aktor dan lembaga nasional dan internasional.
Bahwa kekuasaan negara tetap penting di bawah
perubahan rezim global tampak jelas didalam pencapaian
gerakan lingkungan, itu terjadi secara perlahan tapi pasti,
di bawah Rezim Suharto. Persimpangan kekuasaan negara
dan sejarah wacana koalisi juga tercermin dalam banyak
kenginan kelompok keadilan lingkungan untuk bekerja
dalam batas hukum kehutanan di KBPSDA-CBNRM
[Community-Based Natural Resource Management]) dan
proyek-proyek sosial kehutanan. Di sini, “akses pada lahan
hutan lebih kepada “hak pribadi atau komunal” bukan
hutan dilihat sebagai pencapaian keadilan, meskipun ini
tidak cukup untuk proses radikalisasi aktivis reforma agraria
yang menuntut hak penuh atas tanah, termasuk peng-
ambilalihan tanah saat ini di bawah yurisdiksi formal
183
institusi-institusi kehutanan negara. Mengingat strategi
183 Mia Siscawati, komunikasi personal, 2006.
412

