Page 23 - MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK: PRINSIP, REGULASI, DAN IMPLEMENTASI
P. 23
2 MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK: PRINSIP, REGULASI, DAN IMPLEMENTASI
Ilustrasi Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional
sekadar kelaziman administratif atau tekanan politik sesaat. Dalam
konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam proses penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang seharusnya menjadi produk
analisis mendalam tentang kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar
dokumen proforma yang diisi dengan program-program yang tidak
terukur dampaknya. Financial (F) sebagai pilar kedua menuntut
adanya sistem pengelolaan keuangan yang terintegrasi dari hulu ke
hilir, mulai dari perencanaan yang berbasis kinerja, implementasi
yang efisien, hingga evaluasi yang objektif. Praktik penganggaran di
Indonesia yang masih sering diwarnai dengan fenomena ‘gunakan
atau hilangkan’ (use it or lose it) di akhir tahun anggaran menunjukkan
betapa aspek financial management ini belum sepenuhnya dijalankan
dengan baik.
Human Resources (HR) sebagai dimensi ketiga menyoroti
kualitas SDM aparatur sebagai faktor penentu keberhasilan
pengelolaan keuangan negara. Masih lemahnya kapasitas teknis
banyak oknum pengelola keuangan dan unit pelaksana teknis dalam
memahami sistem perbendaharaan negara menjadi bukti nyata
bahwa aspek pengembangan SDM ini belum mendapatkan perhatian
serius. Information (I) sebagai komponen keempat menekankan
pentingnya sistem informasi yang terintegrasi untuk mendukung
pengambilan keputusan yang berbasis data. Kehadiran sistem seperti
KRISNA (Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran)
dan SAKTI (Sistem Akuntansi Keuangan Negara) sebenarnya telah
menjadi terobosan penting, namun implementasinya masih sering
terkendala oleh resistensi birokrasi dan keterbatasan infrastruktur
digital di berbagai daerah. External Relations (ER) sebagai elemen
terakhir mengingatkan kita bahwa pengelolaan keuangan publik
tidak bisa berjalan dalam vakum birokratis, tetapi harus melibatkan
partisipasi publik dan akuntabilitas sosial. Mekanisme Musrenbang
(Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dari tingkat desa hingga
nasional sebenarnya telah memberikan ruang bagi hal ini, namun
sering kali masih bersifat formalistik tanpa substansi yang mendalam.

