Page 43 - Potret Perjuangan Bapak Hukum Agraria Prof. Boedi Harsono
P. 43
Oloan Sitorus & Taufik N. Huda
nal sebagai malaise - menghancurkan sendi-sendi ekonomi peme-
rintah Hindia Belanda hingga akhir dasawarsa tahun 1930-an
mengakibatkan beberapa sekolah pemerintah berbiaya tinggi
ditutup, salah satunya menimpa MOSVIA. Ini merupakan tam-
paran bagi keluarga bangsawan dan pamong praja pada masa itu
karena hilangnya satu-satunya kesempatan mendapatkan pendi-
dikan Belanda untuk menaikkan harkat dan status mereka. 42
MOSVIA baru dibuka kembali menjelang tahun 1940, maka
teranglah keberuntungan yang dialami Boedi Harsono, ia lulus
MULO tepat pada saat MOSVIA dibuka kembali.
Walaupun kesempatan sudah sangat terbuka untuk berbagai
kalangan, namun untuk dapat diterima menjadi siswa MOSVIA
para calon harus memenuhi berbagai persyaratan yang cukup berat.
Dalam hal kecakapan, siswa harus mendapat nilai minimal angka
6 (cukup) untuk mata pelajaran Bahasa Belanda pada ujian akhir
sekolah dasar. Namun ada persyaratan yang lebih penting di sam-
ping ijazah sekolah itu sendiri, yaitu loyalitas kepada Pemerintah
Belanda. Sebab pamong praja adalah tulang punggung pemerin-
tahan, maka kesetiaan mereka pada pemerintah kolonial merupa-
kan syarat mutlak. Setelah melalui ujian kecakapan dan penelitian
mengenai latar belakang, calon siswa harus melengkapi syarat
terakhir dan yang paling sulit, yaitu persetujuan dari Gubernur
Provinsi. 43
42 Sebetulnya pihak Belanda terkesan tidak begitu senang dengan proses
“pembaratan” pada pamong praja. Dengan pendidikan tinggi yang diberikan pada
mereka justru semakin mengasingkan mereka dari rakyat, ini berarti sistem indirect
rule yang selama ini dipakai menjadi tidak berguna lagi. Lihat, Onghokham, op.cit.
hlm. 110
43 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta ( Yogyakarta:),hlm. 285.
30

