Page 157 - PELAYANAN TATA RUANG DAN PERTANAHAN DALAM MEMBANGKITKAN IKLEM PEREKONOMIAN
P. 157
Tumpang Tindih Lahan dan Tujuan SDGs ke-15
Tidak dapat dipungkiri jika lemahnya tata kelola lahan
berkontribusi pada tingginya angka deforestasi hutan yang ilegal
sekaligus kerusakan terhadap lanskap yang sensitif seperti lahan
gambut dan daerah aliran sungai (World Bank, 2009; Environmental
Investigation Agency, 2012 dalam Toumbourou, 2016). Penting
bagi Pemerintah untuk menggencarkan kebijakan satu peta yang
telah dijalankan sejak 2010 pada era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Setidaknya, 40,6 persen luas lahan Indonesia
tercatat masih mengalami tumpang tindih pemanfaatan lahan
(Tim Kebijakan Satu Peta, 2020). Selain itu, intensifikasi tanaman
sawit dapat menjadi solusi untuk mengimbangi peningkatan
permintaan sawit tanpa merusak lebih banyak lahan (Saleh dkk,
2019). Momen melambatnya aktivitas perekonomian nasional
akibat pandemi Covid-19 seharusnya dapat digunakan oleh
Pemerintah untuk membenahi tata kelola industri sawit selama ini,
salah satunya melalui perpanjangan kebijakan moratorium sawit.
Tanpa perpanjangan dan penguatan moratorium sawit, masalah
tumpang tindih lahan tidak hanya berdampak kepada alam, tetapi
juga kepada masyarakat di sekitar wilayah tersebut (Moniaga,
2021). Kenyataan di lapangan menunjukkan jika pembukaan
lahan sawit kerap bermasalah sehingga berdampak negatif pada
kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat adat yang
mewariskan lahan hutan dari leluhur mereka. Walaupun sudah
menjadi masalah klasik, perampasan lahan ini menjadi pintu
masuk dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
lainnya (Borras Jr. dkk, 2016). Perebutan lahan antara perusahaan
sawit dengan masyarakat adat tidak jarang berujung pada kekerasan
bahkan kematian seperti Tragedi Mesuji yang terjadi pada 2011 dan
2019 silam (Raditya, 2019). Efek jangka panjangnya, masyarakat
adat bahkan harus kehilangan mata pencaharian dan sumber
138 Pelayanan Tata Ruang dan Pertanahan
Dalam Membangkitkan Iklim Perekonomian