Page 840 - Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan
P. 840
Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007
2. Larangan pemilikan tanah secara absentee;
3. Redistribusi tanah-tanah yang melampaui batas
maksimum, tanah-tanah yang terkena ketentuan absen-
tee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara
lainnya;
4. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah
pertanian; dan
5. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian,
disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah
pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Implementasi kebijakan landreform ini pada masa yang
lampau ternyata masih sangat terbatas dan belum dapat
memenuhi tujuan-tujuan seperti yang diharapkan di atas.
McAuslan (dalam Wiradi 2006), misalnya, menyebutkan
dua hambatan pokok (di samping berbagai hambatan lain-
nya) dalam pelaksanaan program landreform ini. Pertama
adalah hambatan hukum. Baik di pusat maupun di daerah,
aparat hukum belum menguasai benar persoalan agraria.
Hal ini berkaitan dengan hambatan pokok kedua, yaitu ham-
batan ilmiah. Berbeda dari negara berkembang lainnya, di
Indonesia jumlah ilmuwan agraria amat terbatas. Akibatnya
setiap kali membahas agraria, yang dibahas selalu “hukum
agraria”. Padahal agraria itu mencakup hampir semua aspek
kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan politik,
bahkan juga hankam).
Walf Ladejinsky, arsitek landreform di Jepang di bawah
Jendral McArthur, setelah tiga kali datang ke Indonesia pada
tahun 1961-1963, memberi penilaian serupa mengenai
pelaksanaan landreform yang saat itu sedang dilaksanakan.
793

