Page 55 - Jogja-ku(dune Ora) didol: Manunggaling Penguasa dan Pengusaha Dalam Kebijakan Pembangunan Hotel di Yogyakarta
P. 55
bangunan istana dan kelengkapannya, seperti: pagelaran; kraton;
Sripanganti; tanah untuk makam Raja dan kerabatnya; alun-alun;
masjid; taman sari; pesanggrahan dan petilasan. Sedangkan tanah
bukan keprabon terdiri dari dua jenis, yakni tanah yang digunakan
penduduk/lembaga dengan hak meliputi: magersari; ngindung; hak
pakai; hutan; kampus; rumah sakit; dan lain-lain; serta tanah yang
digunakan penduduk tanpa alas hak. 32
Masyarakat, badan hukum, badan usaha dan badan sosial ternyata
dapat mengelola tanah non keprabon tersebut dengan sebelumnya
33
meminta ijin dari pihak Kraton maupun Puro Paku Alaman.
Pengelolaan dan penguasaan atas tanah bukan keprabon tersebut
dibuktikan dengan Surat Kekancingan. Surat Kekancingan sendiri
diperoleh dari KHP Wahono Sarto Kriyo cq. Kantor Panitikismo
selanjutnya dibuatkan perjanjian tertulis antara penghuni atau
penggarap setiap persil tanah tersebut dengan KHP Wahono Sarto
Kriyo sebagai wakil Sultan, selanjutnya penghuni atau penggarap
34
diwajibkan membayar uang sewa. Surat kekancingan tersebut hanya
diterbitkan satu kali kepada yang terlebih dahulu memohon.
SG dan PAG pada kenyataannya sekarang ini masih diakui oleh
masyarakat setempat, dengan adanya Undang-undang Keistimewaan
Yogyakarta, maka kedudukannya semakin kuat. Pada praktiknya
SG maupun PAG diperuntukkan untuk masyarakat yang ingin
mempergunakannya sebagai tempat tinggal maupun untuk usaha.
32 Penjelasan Pasal 32 Ayat (2); (3) dan (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keis mewaan Daerah Is mewa Yogyakarta
33 Luthfi, Ahmad Nashih, dkk. (2009). Op. Cit. hlm.173
34 Hb. Andri Ariaji, (2011). Aspek Hukum Ngindung diakses melalui: hƩ p://www.
kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/207-aspek-hukum-
ngindung tanggal 20/03/2016 pukul 14:33 WIB
40 JOGJA-KU(DUNE ORA) DIDOL