Page 56 - Jogja-ku(dune Ora) didol: Manunggaling Penguasa dan Pengusaha Dalam Kebijakan Pembangunan Hotel di Yogyakarta
P. 56
Asas yang digunakan dalam hukum positif Indonesia khususnya
dalam bidang pertanahan salah satunya yakni asas pemisahan
horizontal, dimana dalam asas ini terdapat pemisahan antara tanah
dan bangunan yang berdiri di atasnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa “Barang siapa yang membangun, dialah pemilik bangunan
35
yang dibangun itu”. Ini artinya bahwa pemilik bangunan tidak
selamanya juga merupakan pemilik tanah tersebut, sehingga di
Indonesia pemilik tanah dan pemilik bangunan bisa merupakan
dua orang/pihak yang berbeda. Dalam konteks pembangunan hotel
di Kota Yogyakarta, maka sangat dimungkinkan adanya pemilikan
bangunan oleh suatu PT (Perseroan Terbatas) di atas tanah milik
“pihak lain”, yang dikuasai oleh PT tersebut dengan Hak Guna
Bangunan (HGB); Hak Pakai (HP) maupun Hak Sewa (lihat pasal
35; 41 dan 44 UUPA).
Sehingga dalam kasus pemilikan bangunan hotel tersebut,
36
terdapat 3 (tiga) pihak yang berkepentingan, yakni:
1) Pihak pertama, sebagai pihak yang membangun;
2) Pihak kedua, yaitu pihak yang mempunyai tanah; dan
3) Pihak ketiga, yaitu pihak yang (akan) membeli tanah beserta
bangunan yang ada di atasnya dan kreditor yang menerima tanah
beserta bangunan yang ada di atasnya sebagai jaminan utang.
Oleh karena itu, untuk memberikan jaminan kepastian hukum
yang lebih kuat terhadap pemilikan bangunan tersebut, maka langkah
yang dilakukan oleh pihak pertama sebagai pemilik bangunan yakni
bahwa penguasaan tanah tersebut dilakukan dengan Hak Guna
35 Hasni, (2008). Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanahdalam Konteks
UUPA-UUPR-UUPLH. Rajawali Pers. Jakarta. hlm. 340. Cetakan kedua 2010
36 Hasni, (2008). Ibid. hlm.343
Tak Berpihaknya Pembangunan Pada Rakyat 41