Page 3 - Membaca Konflik Aceh Singkil
P. 3

deskripsi atas fenomena-fenomena budaya secara     berdasarkan  nilai-nilai  Islam  disebut  dengan
               kontekstual (Holloway & Biley, 2011).              syariat  Islam  yang  kemudian  dijadikan  hukum
                       Teknik   pengumpulan    data   dalam       positif  di  Aceh  (Bahri,  2013).  Muatan-muatan
               penelitian ini melalui studi literatur. Sebagaimana   dalam  syariat  Islam  dirujuk  berdasarkan  Al-
               dipahami bahwa studi literatur dilakukan melalui   Quran dan Hadist sebagai sebagai sumber hukum
               pencarian data-data pustaka yang relevan dengan    tertinggi (Qharadawi, 2003).
               topik  penelitian  (Zed,  2014).  Dalam  penelitian       Eksistensi  Syariat  Islam  di  Aceh
               ini, sumber data yang digunakan meliputi buku,     sebenarnya  telah  berlangsung  sejak  lama.  Hal
               artikel  ilmiah,  teks  berita,  hasil  survei,  regulasi   tersebut terlihat dari keterangan Marcopolo pada
               dan laporan resmi pemerintah.                      1292.  Saat  itu  ia  singgah  di  Perlak  (sekarang
                       Interpretasi yang dibangun terhadap data   Aceh  Timur)  dan  menyatakan  bahwa  di  kota
               yang dianalisis harus konstruktif. Maka dari itu,    tersebut telah menerapkan hukum Islam (Uddin,
               peneliti   menggunakan   teknik   triangulasi.     2010).  Selain  itu,  pada  era  Kerajaan  Aceh
               Triangulasi  merupakan  proses  analisis  dengan   Darussallam masa pemerintahan Iskandar Muda
               membandingkan banyak data dan sumber beserta       (1607-1636)  penerapan  syariat  Islam  tertuang
               sudut  pandang terkait  penjelasan  satu  peristiwa   dalam  undang-undang  kerajaan  qanun  al-Asyi
               (Creswell, 2015). Pada tahap ini, data-data dilihat   atau adat Mekuta Alam (Bahri, 2013).
               keakuratannya  dan  keorisinalitasnya  sehingga           Pada   masa   revolusi   kemerdekaan
               menghasilkan  reduksi  terhadap  data  yang  tidak   pelaksanaan syariat Islam kembali diajukan oleh
               valid. Maka dari itu, selektif dalam penggunaan    para  tokoh-tokoh  ulama  dan  umara  melalui
               data yang beragam untuk melihat suatu fenomena     pembentukan  provinsi  Aceh  pada  tahun  1949
               dalam masyarakat tentu akan menghasilkan suatu     (Ibrahimy, 1982). Namun, sepertinya usulan dari
               interpretasi  yang  kredibel  terkait  problematika   tokoh-tokoh  Aceh  tersebut  kurang  mendapat
               dan refleksi atas kehidupan beragama masyarakat    perhatian dari pemerintah pusat. Hal itu terlihat
               Aceh Singkil.                                      dari   kebijakan   pemerintah   membubarkan
                                                                  provinsi  Aceh  pada  tahun  1951  yang  telah
               HASIL DAN PEMBAHASAN                               dibentuk sebelumnya untuk kemudian dileburkan
               Pekembangan  Penerapan  Peraturan  Daerah          ke  dalam  Provinsi  Sumatera  Utara  yang
               Berdasarkan Syariat Islam di Aceh                  notabenenya  menganut  agama  dan  budaya  jauh
                       Hidup keseharian masyarakat Aceh tidak     berbeda dengan rakyat Aceh (Sjamsuddin, 1990).
               dapat terpisahkan dari Islam. Hal tersebut karena         Pembubaran  provinsi  Aceh  sangat
               setiap  bentuk  aktivitas  selalu  termanifestasikan   mengecewakan  dan  melukai  hati  rakyat  Aceh
               dari  nilai-nilai  Islam.  Mulai  dari  adat  istiadat,   yang  merindukan  penerapan  syariat  Islam  di
               kesenian,  sistem  pendidikan,  politik,  sistem   daerahnya.   Pembubaran   provinsi   tersebut
               dagang. Bahkan hal yang paling sederhana seperti   dianggap  oleh  rakyat  Aceh  sebagai  usaha
               cara  berpakaian  sangat  dipengaruhi  oleh  nilai-  pemerintah pusat untuk menghalangi penerapan
               nilai Islam. Maka dari itu Islam dan Aceh tidak    syariat Islam di Aceh, padahal jasa rakyat Aceh
               dapat dipisahkan, Islam menjadi sebuah identitas   terhadap  perjuangan  Republik  Indonesia  sangat
               yang turut membentuk karakter masyarakat Aceh      besar  (Saleh,  1992).  Kekecewaan  rakyat  Aceh
               (Nurdin, 2013).                                    kepada  pemerintah  pusat  makin  terakumulasi.
                       Aktualisasi  nilai-nilai  Islam  dalam     Puncaknya,  ketika  Teungku  Daud  Beureuh
               kehidupan  masyarakat  Aceh,  menjadikan  Islam    pemimpin  PUSA  (Persatuan  Ulama  Seluruh
               sebagai  pedoman  dalam  berperilaku.  Bentuk      Aceh) memplokamirkan Darul Islam Aceh pada
               formal   dari   pada   pedoman    berperilaku      21 September 1953 dan menyatakan Aceh bagian



                                                             157
   1   2   3   4   5   6   7   8