Page 8 - Membaca Konflik Aceh Singkil
P. 8
150 orang dan disahkan oleh pejabat setempat; erat kaitannya dengan kristenisasi. Selain itu,
dan poin (b) dukungan masyarakat setempat terdapat fatwa yang beredar dalam masyarakat
paling sedikit 120 orang (Pemerintah Daerah bahwa haram hukumnya memberikan dukungan
Nanggroe Aceh Darussallam, 2007). Regulasi untuk membangun rumah ibadah agama lain
yang memberatkan ini menjadi pemicu pemeluk (Amindoni, 2019). Dalam kondisi seperti inilah
agama Kristen untuk mendirikan gereja maupun banyak pembangunan gereja tanpa izin yang
undung-undung tanpa izin. ditolak oleh masyarakat setempat.
Pascaperistiwa pembakaran gereja di Pemeluk Kristen di Aceh Singkil sampai
Kecamatan Gunung Meriah, jumlah gereja di tahun 2019 masih banyak yang melangsungkan
Aceh Singkil mengalami pengurangan. Hal ini ibadah di bawah tenda-tenda darurat (Amindoni,
karena beberapa gereja lainnya yang dianggap 2019). Menurut BPS Aceh Singkil jumlah gereja
bangunan liar kemudian dirobohkan (PGI, 2015). di Aceh Singkil hanya satu unit pada 2021, yaitu
Berdasarkan BPS Aceh Singkil pada tahun 2015, gereja Protestan yang terletak di Kecamatan
jumlah gereja yang ada di Aceh Singkil hanya Simpang Kanan, sedangkan untuk gereja Katolik
satu unit yang terletak di Kecamatan Simpang tidak terdapat di Aceh Singkil. Padahal pada
Kanan, dan jumlah undung-undung sebanyak tahun 2021 jumlah pemeluk Protestan sebanyak
empat unit masing-masing terletak di Kecamatan 14.167 jwa dan pemeluk Katolik sebanyak 1.219
Simpang Kanan, Gunung Meriah, Danau Paris, jiwa (BPS Aceh Singkil, 2022).
dan Suro (BPS Aceh Singkil, 2016).
Menanggapi peristiwa pembakaran Belajar Dari Konflik Keagamaan: Sebuah
gereja di Aceh Singkil, pemerintah Aceh Refleksi
mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Konflik intoleransi di Aceh merupakan
Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat contoh kasus yang menunjukkan payung hukum
Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Pasal 14 mengenai kebebasan beragama belum
dalam qanun tersebut penetapan jumlah sepenuhnya jelas dan dihayati oleh sebagian
pengguna dan dukungan masyarakat terkait masyarakat. Oleh karena itu pokok persoalannya
pendirian rumah ibadat tetap menyulitkan bukan secara khusus saja pada perlunya aturan
kelompok minoritas. Pada poin (a) daftar nama administratif yang adil mengenai kebebasan
pengguna tempat ibadah paling sedikit berjumlah beragama tetapi juga pada pembangunan mental
140 orang dibuktikan dengan kartu tanda dan sikap masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas
penduduk dan kartu keluarga yang disahkan dari pola epistemologis yang dipahami berbeda
pejabat yang berwenang. Sementara itu, pada secara sosio-kultural. Apakah yang diantut wajah
poin (b) dukungan masyarakat setempat paling Islam yang ramah, toleran, dan inklusif, atau
sedikit 110 orang yang disahkan oleh pejabat wajah Islam yang garang, ekslusif, dan tidak
setempat (Pemerintah Aceh, 2016). toleran (Schwartz, 2007). Bukan hanya Aceh,
Regulasi yang dikeluarkan oleh munculnya konflik terkait keagamaan di
Pemerintah Aceh terkait pendirian rumah ibadah Indonesia secara umum disebabkan oleh sikap
menempatkan pemeluk agama Kristen dalam keberagamaan yang ekslusif. Selain itu,
posisi yang dilema. Pada satu sisi mereka kontestasi antarkelompok agama dalam meraih
membutuhkan rumah ibadah karena jumlah dukungan umat dilandasi sikap intoleran (Yunus,
pemeluk Kristen makin bertambah di Aceh 2014).
Singkil. Pada sisi lainnya dukungan masyarakat Polarisasi antarkelompok masyarakat
setempat juga sulit untuk didapatkan karena dalam persoalan keagamaan juga dilandasi oleh
adanya isu yang beredar bahwa pendirian gereja perspektif yang berbeda dalam memahami
162