Page 32 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 32

Aip tidak perlu bertanya langsung pada Asep. Foto-foto itu sudah menjawab semua pertanyaan
                   yang  selama  ini  menghantuinya.  Tanpa  penjelasan,  tanpa  pengakuan,  Aip  merasa  semua
                   harapannya telah runtuh.
                   ---
                   Malam yang Paling Panjang
                                   Malam itu, Aip duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk lututnya sambil membiarkan air
                   matanya terus mengalir. Setiap kenangan bersama Asep kembali terputar di benaknya: pelukan
                   hangat di depan rumah, janji-janji yang diucapkan di taman terminal, perhatian kecil yang dulu
                   membuatnya merasa dicintai.
                   Semua kenangan itu kini terasa seperti mimpi yang pahit.
                   “Aku pikir… kita bisa lewatin ini, Sep,” isak Aip. “Tapi ternyata aku salah.”
                   Ia  tidak bisa memaksa Asep untuk memberi penjelasan.  Ia  tahu bahwa  terkadang, penjelasan
                   hanya akan memperparah luka. Aip memilih untuk diam, meskipun hatinya hancur. Dalam diam, ia
                   berusaha menerima kenyataan bahwa mungkin, cinta yang selama ini ia jaga, kini hanya tinggal
                   kenangan.
                   Malam terasa begitu panjang. Angin malam berhembus lembut melalui jendela kamarnya, seolah
                   mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Namun, kesedihan itu terlalu dalam, terlalu nyata
                   untuk dihapus hanya oleh waktu.
                   Aip  berbaring  di  tempat  tidurnya,  memandang  langit-langit  dengan  mata  yang  bengkak.  Satu
                   pikiran terakhir terlintas sebelum ia tertidur dalam kesedihan:
                   “Aku cuma ingin kamu bahagia, Sep… meskipun itu bukan denganku.”
                   ---


                   Mengikhlaskan yang Pernah Dicintai
                                 Hari-hari setelah Aip melihat foto Asep bersama laki-laki lain adalah masa yang paling sulit
                   dalam hidupnya. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan kosong dan berat. Sekolah terasa seperti
                   rutinitas tanpa makna, dan taman dekat terminal yang dulu menjadi tempat pelipur lara kini hanya
                   menyisakan luka yang perih. Kenangan tentang Asep terus menghantuinya—senyuman hangat,
                   pelukan erat, dan janji-janji yang pernah mereka ucapkan.
                   Malam-malamnya diisi dengan tangis yang ia tahan agar keluarganya tidak tahu betapa hancurnya
                   ia. Di tengah rasa sakit itu, Aip berusaha mencari cara untuk bertahan. Ia tahu bahwa meratapi
                   sesuatu yang telah pergi hanya akan memperparah lukanya.
                   ---
                   Perlahan, Cahaya Mulai Muncul
                                   Waktu berjalan perlahan. Minggu berganti bulan, dan Aip mulai menyadari bahwa hidup
                   harus terus berjalan. Ia mulai mencari kegiatan yang bisa mengalihkan pikirannya—membaca buku,
                   mengikuti ekstrakurikuler, dan membantu kegiatan sekolah. Meskipun langkah-langkah kecil itu
                   terasa berat, ia berusaha menjalani satu hari demi satu hari.
                   Di saat-saat sendirian, Aip masih sering memikirkan Asep. Namun, setiap kali kenangan itu datang,
                   ia membisikkan pada dirinya sendiri,  “Aku harus bisa ikhlas. Kebahagiaan dia juga penting.”
                   Teman-temannya menyadari perubahan itu. Senyum Aip perlahan kembali muncul, meski tidak
                   secerah dulu. Dukungan dari keluarga dan teman-temannya membuatnya mulai merasa bahwa
                   dunia tidak sepenuhnya gelap. Ada cahaya kecil yang muncul, memberi harapan bahwa  ia bisa
                   melewati ini semua.
   27   28   29   30   31   32   33   34