Page 29 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 29
perpisahan yang baru saja terjadi.
Hatinya terasa begitu berat. Rasa sayangnya pada Asep begitu kuat, tetapi ia tak tahu bagaimana
masa depan akan berjalan. Perpisahan ini adalah kenyataan yang sulit ia terima.
“Sejauh apa pun dia pergi, aku ingin tetap percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja,” batin
Aip.
Ia menggenggam ponselnya erat, berharap ada pesan dari Asep, walau hanya satu kalimat
sederhana. Namun, layar ponselnya tetap sunyi. Tidak ada getaran, tidak ada notifikasi. Aip
menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Mungkin dia lagi sibuk menyiapkan keberangkatannya,” pikirnya sambil berusaha menepis rasa
khawatir yang terus merayap di hatinya.
Aip membenamkan wajahnya di bantal, air matanya kembali mengalir. “Sep… aku bakal sabar.
Tapi, kenapa rasanya sesakit ini?”
Tangisnya semakin lirih. Lelah dengan semua emosi yang membanjiri hatinya, Aip akhirnya terlelap
dalam keadaan masih memikirkan Asep. Tidurnya gelisah, dipenuhi mimpi-mimpi tentang
kebersamaan yang kini terasa begitu jauh.
---
Di Rumah Asep: Persiapan yang Berat
Sementara itu, di kamar kecilnya, Asep sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas.
Baju, perlengkapan kerja, dan beberapa kenangan kecil ia masukkan dengan hati-hati. Setiap
lipatan pakaian terasa seperti beban yang semakin menekan hatinya.
Sesekali ia menatap ponselnya, melihat layar yang kosong. Jemarinya ingin mengetik pesan untuk
Aip, tetapi ia tak tahu harus berkata apa. Ia takut jika ia membuka percakapan, rasa sedih yang
selama ini ia tahan akan pecah. Dan ia tahu, ia harus kuat untuk keduanya.
Asep duduk di tepi tempat tidur, menatap lantai dengan tatapan kosong. “Aip… aku pergi bukan
karena aku mau jauh dari kamu. Tapi karena ini yang harus aku lakukan.”
Ia menarik napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “ Aku janji bakal pulang
secepatnya. Kita pasti bisa lewatin ini.”
Dengan langkah berat, ia memeriksa tasnya sekali lagi. Semua sudah siap. Namun, hatinya merasa
kosong. Malam itu, Asep tertidur dengan hati yang penuh sesak, berharap waktu bisa berjalan lebih
lambat.
---
Keesokan Harinya: Perpisahan yang Nyata
Pagi tiba dengan langit yang mendung, seakan ikut merasakan kesedihan yang
menyelimuti hati Aip dan Asep. Di rumah Aip, suara aktivitas pagi terdengar samar, tetapi Aip masih
terbaring di tempat tidurnya. Matanya terbuka, menatap kosong ke arah jendela.
Ponselnya bergetar. Dengan cepat ia meraihnya, berharap pesan itu dari Asep.
Asep: “Aku berangkat sekarang, Aip. Jaga diri baik-baik, ya. Sampai ketemu lagi.”
Air mata Aip langsung jatuh. Hanya satu pesan singkat, tetapi rasanya begitu menyakitkan. Ia
membalas dengan tangan gemetar.
Aip: “Hati-hati, Sep. Aku bakal nunggu kamu.”
Tak lama, ponselnya bergetar lagi.
Asep: “Makasih, Aip. Aku sayang kamu.”
Aip menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang kembali pecah. “Aku juga sayang kamu,