Page 24 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 24
lagi.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan janji itu menggantung di udara. Asep mengepalkan tangan
Aip lebih erat, seolah takut melepasnya.
“Aip, apapun yang terjadi, aku mau kita tetap sama-sama,” kata Asep pelan. “Meskipun jarak
jauh, hati kita deket, kan?”
Aip mengangguk sambil tersenyum, meski air mata jatuh membasahi pipinya. “Iya, Sep. Selama
kita percaya satu sama lain, kita pasti kuat.”
Asep mengusap pipi Aip dengan lembut, menghapus air matanya. “Jangan nangis, ya? Aku nggak
mau lihat kamu sedih.”
Aip tertawa kecil di tengah tangisnya. “Aku nangis karena aku seneng.”
Mereka tertawa bersama, memecah keheningan taman itu. Dunia terasa kembali seperti dulu—
hangat, penuh rasa sayang, dan harapan.
---
Janji Sebelum Berpisah
Setelah beberapa lama berbicara, matahari mulai meninggi. Asep menarik napas panjang
dan berkata, “Aku bakal balik kerja besok, tapi aku janji bakal pulang lagi. Tiga bulan, ya?”
“Tiga bulan,” ulang Aip, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Aku bakal tunggu.”
Asep tersenyum dan menggenggam tangan Aip lebih erat. “Nanti pas aku pulang, kita makan
seblak lagi, ya? Aku kangen makan seblak sama kamu.”
Aip tertawa kecil. “Deal! Tapi jangan lupa, aku bakal minta traktiran banyak.”
“Aku siap, kok,” jawab Asep sambil terkekeh. “Apa aja buat kamu.”
Mereka berdua tersenyum penuh harapan, menguatkan hati mereka untuk jarak yang akan
kembali memisahkan. Meski perpisahan tak terhindarkan, janji mereka menjadi pengikat yang tak
terlihat, menyatukan hati yang tetap saling memiliki.
---
Manisnya Perhatian Kecil
Motor melaju di bawah cahaya lampu jalan yang lembut. Angin pagi menyapu wajah
mereka, membawa kesejukan yang seakan meluruhkan segala keraguan yang pernah ada.
Setelah beberapa menit, Asep membuka pembicaraan, suaranya lembut dan penuh perasaan.
“Aip,” panggilnya pelan. “Besok aku harus balik ke Jakarta lagi.”
Aip mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Iya, Sep. Aku tahu.”
“Tapi sebelum balik, aku pengen habisin waktu sama kamu seharian ini,” lanjut Asep. “Nggak tahu
kapan lagi kita bisa kayak gini.”
Aip tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya. “Aku juga pengen habisin waktu
sama kamu, Sep.”
Asep menoleh sedikit, matanya berbinar. “Jadi, jangan banyak diem, ya? Hari ini harus penuh tawa.”
Aip tertawa kecil. “Siap, Bos!”
Asep ikut tertawa. “Nah, gitu dong! Jangan sampai ada yang bikin kita sedih hari ini.”
Mereka terus melaju dengan suasana hati yang lebih ringan, seperti dua anak kecil yang sedang
menikmati kebebasan. Semua kecanggungan dan keraguan lenyap, digantikan oleh tawa dan
kebahagiaan yang tulus.
---