Page 26 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 26
Setelah perjalanan panjang yang dipenuhi canda dan tawa, motor Asep berhenti perlahan
di depan rumah Aip. Udara sore terasa hangat, tetapi suasana hati mereka mulai terasa berat.
Mereka sama-sama tahu bahwa momen ini adalah akhir dari kebersamaan yang singkat sebelum
Asep kembali ke Jakarta untuk bekerja.
Aip turun dari motor dengan hati yang berdegup kencang. Kakinya terasa berat, seakan enggan
melangkah menuju rumahnya. Asep mematikan mesin motor, melepaskan helmnya, lalu turun
untuk berdiri di hadapan Aip.
Mereka saling bertatapan dalam keheningan. Mata Aip mulai berkaca-kaca, begitu pula dengan
mata Asep yang berusaha menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya.
“Aip…” Asep memanggil dengan suara yang bergetar.
“Sep…” sahut Aip lirih.
Asep menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Aip dengan lembut. “Maaf ya, aku harus
pergi lagi besok. Rasanya berat ninggalin kamu.”
Aip menggigit bibirnya, menahan air mata yang siap tumpah. “Nggak apa-apa, Sep. Aku ngerti kok.
Kamu harus kejar impian kamu.”
“Tapi kamu juga impian aku, Aip,” ujar Asep, suaranya nyaris berbisik. “Aku takut ninggalin kamu.
Takut kamu ngerasa sendirian.”
Aip menggeleng, air mata mulai menetes di pipinya. “Aku nggak akan sendirian, Sep. Selama kita
masih saling percaya, aku bakal kuat.”
Asep menelan ludah, matanya berkilau oleh air mata yang ia tahan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia
menarik Aip ke dalam pelukannya. Pelukan itu erat, seolah ingin menghentikan waktu agar mereka
tak perlu berpisah.
“Aku sayang kamu, Aip,” bisik Asep di telinga Aip. “Jangan lupa itu.”
Aip membalas pelukan Asep dengan erat, air matanya membasahi bahu Asep. “Aku juga sayang
kamu, Sep. Jangan lama-lama ya… Aku bakal nunggu.”
Asep mengangguk di tengah pelukannya. “Aku janji, aku bakal pulang secepatnya. Kamu harus jaga
diri, ya?”
Aip hanya bisa mengangguk, suaranya tercekat. Pelukan itu terasa seperti satu-satunya hal yang
menghubungkan hati mereka di tengah jarak yang akan memisahkan.
Setelah beberapa saat, Asep perlahan melepaskan pelukannya. Ia mengusap pipi Aip yang basah
oleh air mata dengan lembut. “Jangan nangis, ya. Kita pasti bisa lewatin ini.”
Aip mencoba tersenyum meski air matanya terus mengalir. “Iya, aku bakal coba.”
Asep menghela napas panjang, lalu berbalik menuju motornya. Ia mengenakan helmnya dengan
gerakan yang lambat, seakan ingin menunda perpisahan ini. Sebelum menyalakan mesin, ia
menoleh lagi ke arah Aip dan melambaikan tangan.
“Jaga diri, Aip. Sampai ketemu lagi,” ucap Asep, suaranya sedikit teredam oleh helm.
Aip mengangkat tangan, berusaha membalas lambaian itu meski tubuhnya gemetar. “Sampai
ketemu lagi, Sep.”
Asep menyalakan motornya dan mulai melaju pelan. Namun, ia beberapa kali menoleh ke belakang,
menatap Aip yang berdiri diam dengan air mata mengalir di pipinya. Setiap kali Asep menoleh,
senyumnya muncul tipis, seakan ingin memastikan Aip baik-baik saja.
Motor Asep semakin jauh, bayangannya semakin mengecil hingga akhirnya menghilang di tikungan.
Aip masih berdiri di tempatnya, memandang kosong ke jalan yang kini sepi. Rasa hampa mulai
menyelimuti hatinya.