Page 21 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 21

Aip terdiam, perasaannya  mulai  terasa tak nyaman.  Ia  mencoba mengabaikan kata-kata  Asep,
                   meyakinkan diri bahwa mungkin Asep hanya lelah setelah perjalanan panjang.
                   ---
                   Makan Nasi Goreng yang Pahit
                                 Setelah beberapa saat berkeliling, Asep tiba-tiba berkata,  “Laper, nih. Kita makan nasi
                   goreng aja, ya? Udah lama nggak makan nasi goreng sini.”
                   Nada  suaranya  terdengar  seperti  perintah,  bukan  ajakan.  Aip  terdiam  sejenak,  merasa  sedikit
                   kecewa. Biasanya, Asep selalu mengajaknya makan seblak—makanan favorit mereka berdua.
                   “Tapi kalau kamu nggak mau, nggak usah maksain juga,”  tambah Asep dengan nada yang masih
                   terdengar arogan.
                   Aip menunduk, lalu tersenyum kecil.  “Nggak apa-apa, Sep. Kita makan nasi goreng aja.”
                   Mereka berhenti di pinggir jalan tempat pedagang nasi goreng mangkal. Asep turun dari motor
                   dan langsung memesan satu porsi nasi goreng. Sementara itu, Aip hanya berdiri di sampingnya,
                   memandang ke arah jalan yang gelap.
                   “Kamu nggak mau makan juga?”  tanya Asep sambil duduk di bangku plastik.
                   Aip menggeleng pelan.  “Nggak, aku nggak laper.”

                   “Yakin? Nanti nyesel, loh,”ujar Asep sambil menyendok nasi gorengnya dengan penuh semangat.
                   Aip hanya tersenyum tipis. Hatinya terasa berat. Bukan karena ia tidak lapar, tetapi karena rasa
                   kecewa yang perlahan mulai menguasai dirinya. Suasana ini berbeda—tidak seperti kebiasaan
                   mereka dulu yang penuh tawa dan kehangatan.
                   Ia merasa seperti ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Nada bicara Asep yang kini
                   terdengar sombong membuat hatinya perih. Namun, ia memilih diam, mencoba memahami bahwa
                   mungkin ini hanya karena Asep lelah setelah kembali dari perantauan.
                   Malam itu, nasi goreng yang dipesan Asep terasa lebih pahit daripada biasanya, meskipun ia tidak
                   mencicipinya.
                   ---
                   Pergolakan Batin Aip
                                 Saat  Asep  sibuk  menikmati  makanannya,  Aip  menatap  langit  malam.  Ribuan  bintang
                   bertaburan di angkasa, tetapi hatinya terasa kosong. Ia bertanya pada dirinya sendiri, Apakah jarak
                   dan waktu benar-benar mengubah seseorang? Apakah aku masih mengenal Asep yang dulu?
                   Ia  menarik  napas  panjang  dan  berbisik  dalam  hati,  “Aku  cuma  butuh  sedikit  waktu  untuk
                   memahami semua ini. Semoga semuanya baik-baik saja.”
                   ---

                   Hati yang Mulai Tersakiti
                                  Setelah selesai makan nasi goreng, Asep kembali ke motor sambil menghela napas.

                   “Jadi, kamu mau makan apa nggak? Aku yang bayarin, kok,”  ucapnya sambil menyodorkan helm
                   ke Aip. Nada suaranya terdengar datar, nyaris seperti perintah.

                   Aip tersenyum kecil, meski hatinya terasa pedih.  “Nggak usah, Sep. Aku udah kenyang.”
                   Asep mendengus kecil, lalu memasang helmnya.  “Yakin nggak mau? Jangan malu-malu gitu, deh.
                   Kalau mau, bilang aja. Nggak usah sok hemat.”
                   Kata-kata  itu menusuk hati Aip, tetapi  ia  tetap menahan diri. Mungkin Asep  lelah, pikirnya. Ia
                   berusaha mencari alasan untuk membenarkan sikap Asep yang semakin berbeda dari biasanya.
                   “Nggak, beneran. Aku nggak mau apa-apa, kok,”  jawab Aip lirih sambil memasang helmnya.
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26