Page 22 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 22
Motor melaju di bawah cahaya lampu jalan yang remang. Udara malam yang dingin menyapu
wajah Aip, tetapi ia lebih merasakan dinginnya sikap Asep. Tidak ada percakapan atau tawa seperti
dulu. Hanya suara mesin motor dan desiran angin yang menemani mereka.
Sesekali, Asep membuka suara dengan nada yang sama. “Nanti kalau mau jajan, bilang aja. Aku
kan sekarang udah kerja. Masa iya, kamu nolak terus?”
Aip menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia mencoba untuk tidak
mempermasalahkan kata-kata Asep, tetapi hatinya berkata lain. Kenapa rasanya semua ini berubah?
pikir Aip.
---
Sampai di Depan Rumah
Motor berhenti perlahan di depan rumah Aip. Cahaya lampu teras menyinari halaman
kecil itu, tetapi kehangatan yang dulu selalu ada kini tak terasa. Aip turun dari motor dan
melepaskan helm dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia berusaha tersenyum meski hatinya terasa
hampa.
“Udah sampai,” ucap Asep singkat, suaranya datar.
Aip mengangguk pelan. Ia melepaskan jaket abu-abu milik Asep yang selama ini memberinya
kenyamanan. Dengan tangan gemetar, ia menyodorkan jaket itu kembali ke Asep.
“Nih, jaket kamu. Makasih, ya,” ujar Aip dengan suara bergetar.
Asep menerima jaket itu tanpa banyak bicara. “Iya. Hati-hati masuknya.”
Aip menunggu sejenak, berharap Asep akan mengatakan sesuatu yang lebih hangat seperti dulu,
sapaan lembut atau pesan singkat agar ia tidur nyenyak. Tetapi yang ada hanya hening. Asep
menyalakan mesin motor tanpa menoleh lagi.
“Selamat malam, Aip,” ucap Asep singkat sebelum akhirnya melaju pergi, meninggalkan Aip
berdiri di depan rumahnya dengan hati yang penuh tanya.
Aip menatap punggung Asep yang semakin jauh, lalu perlahan masuk ke dalam rumah. Ia menutup
pintu, bersandar di belakangnya, dan menarik napas panjang. Ponsel di genggamannya tetap sunyi.
Tidak ada notifikasi pesan seperti biasanya. Tidak ada sapaan penuh perhatian atau candaan
singkat yang dulu selalu membuatnya tersenyum sebelum tidur.
---
Malam Penuh Pertanyaan
Aip merebahkan diri di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Air mata
yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan, membasahi pipinya.
“Apa yang salah?” bisiknya pelan, suaranya bergetar. “Kenapa semuanya berubah?”
Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Apa Asep
sudah tidak peduli lagi? Ataukah ini hanya perasaanku saja?
Ia menggenggam ponsel erat-erat, berharap tiba-tiba akan muncul notifikasi dari Asep. Tetapi layar
ponsel tetap gelap dan sunyi.
Aip memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia memaksa dirinya
untuk berpikir positif. Mungkin Asep hanya lelah. Mungkin semua akan kembali seperti dulu.
Namun, di dalam hatinya, ia tidak bisa menghilangkan rasa takut bahwa sesuatu telah berubah
selamanya.
“Sep…” bisik Aip di tengah isak tangisnya. “Aku cuma pengen kita kayak dulu lagi.”
Dengan hati yang penuh kerinduan dan kebingungan, Aip akhirnya tertidur, berharap bahwa ketika