Page 30 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 30

Sep,”  bisiknya pelan, meski pesan itu tak ia kirimkan.
                   Sementara  itu,  di  stasiun,  Asep  berdiri  di  peron  dengan  tas  besar  di  pundaknya.  Suara
                   pengumuman  keberangkatan  kereta  menggema  di  seluruh  penjuru  stasiun.  Ia  menarik  napas
                   dalam-dalam, mencoba menguatkan hatinya.
                   Saat kereta mulai bergerak, Asep menatap ke luar jendela. Kota yang penuh kenangan perlahan
                   menjauh, menyisakan rasa sepi di hatinya.
                   “Aip…  tunggu aku. Aku pasti pulang.”
                   ---

                   Kenangan di Taman Terminal

                                 Hari  demi  hari  berlalu  dengan  lambat  untuk  Aip.  Rutinitas  sekolah  yang  dulu  terasa
                   menyenangkan  kini  hanya  sekadar  kewajiban.  Senyum  yang  biasa  menghiasi  wajahnya  mulai
                   memudar, tergantikan oleh tatapan kosong dan langkah yang terasa berat.
                   Setiap pagi, Aip bangun dengan harapan kecil bahwa ponselnya akan menunjukkan pesan dari Asep.
                   Namun, layar ponselnya sering kali sunyi. Jika pun ada pesan, itu hanya beberapa kata singkat yang
                   terasa formal, jauh dari hangatnya perhatian yang dulu ia rasakan.
                   Di  sela-sela  kesibukannya,  pikiran Aip selalu melayang  pada Asep. Ia bertanya-tanya apa yang
                   sedang dilakukan Asep, apakah Asep masih memikirkan dirinya, atau apakah janji itu masih berarti.
                   ---
                   Taman Terminal yang Menjadi Tempat Berlabuh
                                   Setiap sore sepulang sekolah, atau saat akhir pekan tiba, Aip selalu menyempatkan diri
                   untuk pergi ke taman dekat terminal. Taman kecil itu menjadi tempat pelariannya dari kenyataan
                   yang  menyakitkan.  Ia  duduk di  bangku kayu yang  sama,  di  bawah  pohon besar  yang  rindang,
                   memandang sungai yang mengalir pelan di pinggir jalan.
                   Suara kendaraan yang berlalu-lalang terdengar sayup-sayup, namun di telinga Aip, suara itu hanya
                   latar  belakang  bagi  kenangan  yang  lebih  hidup.  Tempat  ini  menjadi  saksi  pertemuan  terakhir
                   mereka sebelum Asep kembali ke Jakarta. Di sini, mereka pernah duduk berdua, tertawa, bercanda,
                   dan saling menggenggam tangan penuh harapan.
                   Aip memejamkan mata, membiarkan angin sore membelai wajahnya. Dalam keheningan itu, suara
                   Asep seakan kembali bergema di telinganya.
                   “Nggak ada yang bakal berubah. Kamu adalah satu-satunya yang bikin aku pengen pulang.”
                   Air mata menggenang di mata Aip. Ia membuka matanya, menatap sungai yang berkilau diterpa
                   cahaya senja. Rasa rindu yang selama ini ia pendam terasa semakin kuat, semakin menyiksa.
                   “Sep…  kamu di mana sekarang? Kenapa kita jadi sejauh ini?”
                   Aip menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Di dalam hatinya, ia berusaha
                   meyakinkan  diri  bahwa  Asep  sedang  berjuang  untuk  masa  depannya,  untuk  mereka  berdua.
                   Namun, semakin jarangnya pesan dari Asep membuat keyakinan itu goyah.
                   ---
                   Harapan di Tengah Kesepian
                                   Sore itu, angin bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Aip
                   mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Ia menggenggam bangku dengan erat, seolah mencari
                   pegangan yang bisa menguatkan hatinya.
                   “Janji itu masih ada, kan, Sep?”  bisiknya pelan.  “Aku masih percaya…  aku masih nunggu.”
                   Ia menatap lurus ke sungai, membiarkan pikirannya hanyut bersama aliran air yang tenang. Setiap
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34